Jumat, 19 Maret 2010

BERBEDA PENDAPAT DALAM KORIDOR ISLAM

TUJUAN
Setelah mengikuti penjelasan materi ini, pemirsa diharapkan mampu :
1. Menunjukkan perintah Allah untuk senantiasa bersatu dan tidak berselisih pendapat
2. Menunjukkan alasan kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
3. Mengungkapkan bahwa perbedaan dalam kehidupan adalah sunnatullah
4. Menunjukkan jenis-jenis perbedaan dalam beragama
5. Membedakan perbedaan yang terpuji dan perbedaan yang tercela
6. Menunjukkan adab dalam perbedaan pendapat


POKOK-POKOK MATERI
1. PESAN PERSATUAN

Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak berbeda-beda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari’ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105)

2. KEMUNGKINAN PERBEDAAN

Perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan warna membuat kehidupan menjadi indah, kita tidak akan dapat mengetahui putih jika tidak pernah ada hitam, merah, hijau dan warna lainnya. Kita tidak akan dapat bekerja dengan baik jika jari-jari tangan kita ukuran dan bentuknya sama, seperti telunjuk semua misalnya, atau kita akan kesulitan mengunyah makanan jika bentuk gigi kita semuanya sama, taring semua misalnya, dst. Demikanlah harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan fungsinya. Perbedaan pada wasa’ilulhayat (sarana hidup).

Permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi sangat membahayakan ketika terjadi pada dzatuddin (esensi agama). Firman Allah : “ Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” QS. 40:13, atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an, AS Sunnah, maupun Ijma’. Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an, As Sunnah maupun Ijma’ adalah esensi dasar dari ajaran agama yang mempersatukan ajaran Muhammad SAW dengan ajaran para Nabi sebelumnya (QS. 29: 69, 5:15-16, 2:208), kemudian perbedaan tanawwu’ (penganeka ragaman) dalam pelaksanaan syari’ah, antara wajib atau sunnah. Wajib ain atau kifayah, dst.

Dengan demikian perbedaan itu dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok berikut ini:
1. Perbedaan pada Dzatuddin (esensi) dan Ushul (dasar-dasar) prinsipil. Perbedaan inilah diisyaratkan Allah :
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”. QS. 11: 118-119
Inilah perbedaan yang menghasilkan perbedaan agama seperti , Yahudi, Nasrani, Majusi, dst. Dan untuk itulah Allah utus para Nabi dan Rasul untuk menilai dan meluruskan mereka. Firman Allah :
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…” QS 2:213

2. Perbedaan umat Islam pada Qaidah Kulliyah (kaidah umum). Perbedaan ini muncul setelah terjadi kesepakatan pada dasar prinsipil agama Islam. Perbedaan pada masalah inilah yang dapat kita fahami dari hadits Nabi yang memprediksikan terjadinya perpecahan hingga tujuh puluh tiga golongan. Perbedaan ini lebih terjadi pada minhaj (konsep) akibat infiltrasi ajaran Agama dengan konsep lainnya. Seperti akibat infiltrasi konsep Yahudi, faham materialis, Budhis, dsb. Rasulullah memberitahukan bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal hingga tidak ada lagi eksistensi agama ini kecuali tinggal namanya. Perbedaan ini berada dalam rentangan dhalal (sesat) dan hidayah (benar), sunnah dan bid’ah. Seperti perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah, Qadariyah, Rafidhah, dsb.

3. Perbedaan pada Furu’iyyah (cabang). Perbedaan ini muncul pada tataran aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah-masalah dasar prinsipil dan kaidah kulliyah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu’ (cabang) syari’ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya. Al Hasan pernah ditanya tentang ayat :” …mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Allah …”QS 11: 118-119, ia katakan : “adapun orang-orang yang telah memperoleh rahmat Allah, maka mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang membahayakannya.

Karena perbedaan pada tataran apliskasi ini suatu keniscayaan Allah memberikan referensi dasar untuk menjadi titik temu dari semua perbedaan pemahamam (QS. 4:59)
Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran aplikasi/furu’iyyah harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada Sunnahnya setelah rasul wafat.
Porsi perbedaan ini dilakukan oleh para Fuqaha (ahli fiqh) dalam persoalan furu’iyyah setelah terjadi kesepakatan pada masalah ushul. Al Baghdadiy, mengatakan : “ Siapapun yang mengidentikkan diri dengan Islam, menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan yang tercela (sebagai ahlunnar dari 73 golongan) adalah perbedaan fuqaha dalam masalah furu’iyyah fiqh. Untuk menghadapi perbedaan halal-haram dalam masalah fiqh saja terdapat dua alur:

a. pendapat yang membenarkan semua pendapat mujtahid dalam masalah fiqh, atau dengan kata lain ijtihad fiqhiyyah/furu’iyyah adalah “semua benar”
b. pandangan yang menganggap bahwa ada satu kebenaran dari perbedaan yang bermacam-macam itu, selainnya salah, tetapi berpahala juga, artinya tidak tersesat.
Sampai di sini dapat kita fahami pandangan Imam Syahid Hasan Al Banna yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan) fiqhiy dalam masalah-masalah furu’iyyah tidak boleh menjadi sebab perpecahan, permusuhan, dan kebencian. Setiap mujtahid telah memperoleh balasannya. Sabda Nabi : “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala”.

3. MENYIKAPI PERBEDAAN

Perbedaan dalam masalah ijtihadiyyah diakui dalam syari’ah samawiyah (agama samawiy) terdahulu seperti yang terjadi antara Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud dalam masalah tanaman yang dimakan kambing seperti yang diceritakan pada surah Al Anbiya/21:78 dst. Pada kasus ini Nabi Dawud memutuskan bahwa pemilik kambing harus membayar ganti rugi sebesar nilai kerusakan, dan ternyata harga kambing senilai kerusakan. Maka kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun. Berbeda dengan Nabi Sulaiman yang memutuskan agar kambing diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya (susu dan bulu), sedang ladang diserahkan kepada pemilik kambing untuk dirawat, dan masing-masing akan mendapat miliknya kembali setelah klop. Allah memilih ijtihad Nabi Sulaiman, akan tetapi hal ini tidak akan mengurangi derajat Nabi Dawud di sisi Allah, karena masing-masing telah diberi kelebihan hikmah dan ilmu. Dan masing-masing adalah mujtahid yang mengambil keputusan setelah berfikir mendalam.
Dalam Islam kejadian serupa pernah pula terjadi, seperti ijtihad Rasulullah pada peristiwa qath’ulliynah (penebangan pohon kurma, QS. 59:5), tebusan tawanan perang Badr ( QS. 8:67) dsb.

Demikian juga Rasulullah SAW menyikapi perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat, dengan memberikan pembenaran kepada mereka yang berbeda pendapat dalam ijtihad aplikatif. Seperti perbedaan pendapat dua sahabat yang diutus ke Bani Quraidhah, antara yang shalat ashar di tengah perjalanan dan yang shalat menunggu sampai di tempat tujuan setelah lewat waktu Ashar. Begitu juga sikap Nabi terhadap dua sahabat yang berbeda pendapat tentang shalat dengan tayammum, karena tidak ada air. Kemudian sebelum habis waktu shalat, mendapati air. Ada yang mengulang dan ada yang tidak.

Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan :” Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah aimmah (para pemimpin) yang menjadi teladan, siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah”.
Ketika Abu Ja’far Al Mansur hendak menjadikan umat hanya berkiblat pada Al Muwattha’nya Imam Malik rahimahullah. Kata Imam Malik : “ Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Merubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka fahami ”

Dari penjelasan di atas, maka perlu dirumuskan adab yang harus dipegang oleh setiap mujtahid dalam melakukan penelitian masalah khilaf far’iy sebagaimana yang pernah ada pada sahabat dan para pengikutnya. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari perdebatan dan fanatisme aliran.

4. ADAB BERDISKUSI DAN BERBEDA PENDAPAT

Ketika diskusi dijadikan sebagai salah satu cara efektif dalam mencari kebenaran, maka mutlak dirumuskan syarat dan adab dalam berdiskusi, agar tujuan menggapai ridha Allah dalam penelitian dapat terealisir. Adab itu ialah :

1. Tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar’iy. Ada ulama yang mengatakan :”Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta”

2. Tidak mendiskusikan sesuatu kecuali yang waqi’iy (faktual) atau yang mungkin terjadi pada umumnya. Para salaf hanya mendiskusikan sesuatu yang terjadi atau mungkin terjadi.

3. Dialog tertutup lebih baik dari pada forum terbuka di hadapan para pembesar maupun penguasa. Suasana tertutup lebih mencerminkan mahabbatullah (cinta Allah) dan kejernihan hati dan perasaan untuk memperoleh kebenaran. Sedang dalam forum terbuka akan mendorong kecenderungan riya’ atau semangat mengalahkan lawan, benar atau salah.

4. Dialog adalah mencari kebenaran. Tidak boleh membedakan sikap apakah kebenaran itu muncul dari dirinya atau dari orang lain. Memandang teman bicara sebagai pendamping mencari kebenaran bukan lawan yang harus dikalahkan. Bersyukur ketika ia bisa menunjukkan kesalahan dan menawarkan kebenaran. Umar bin Khatthab setelah menetapkan jumlah bilangan mahar, lalu ditegur oleh seorang wanita yang menolak ketetapan itu, kata Umar : “Betul wanita itu dan Umar salah”. As Syafi’iy berkata: “ Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya”

5. Tidak menghalangi fihak lain menggunakan satu dalil ke dalil lain, atau dari satu probelem ke problem lain.

6. Tidak melakukan diskusi kecuali dengan orang yang dianggap akan dapat diambil ilmunya.
Dengan memperhatikan adab dan syarat dalam berdiskusi ini maka spirit mahabbah fillah (cinta karena Allah) dan Ta’awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran akan terealisir.

Wallahu a’alm.

Paradigma Kritis Gerakan Muslimah dalam Upaya Penguatan Masyarakat Sipil

Oleh: Sri Rahayu

WILAYAH PERHATIAN KRITIS:
Dalam KONSTEKTUALISASI GERAKAN MUSLIMAH

KOMPETENSI KRITIS:
o KONSEP DIRI
Merupakan hal yang paling utama dan harus terus dijaga kualitasnya, dan kemudian bagaimana kita menjadikannya sebagai modal untuk memperkaya diri kita.

o ORGANISASI DAN JARINGAN
Dalam membentuk suatu organisasi, kita harus memiliki konsep yang matang. Segala sesuatunya harus dirancang minimal untuk kebutuhan 10 tahun mendatang.
Jangan membuat organisasi yang tidak memiliki kedudukan yang jelas.

o KONSEP-KONSEP SOSIAL POLITIK EKONOMI

o LOKALITAS
Suatu lembaga harus memiliki ruang atau wilayah kerja definitif karena tendensi masyarakat pada saat ini yang mengharapkan solusi atas permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.

o SIKLUS PENGEMBANGAN KOMPETENSI
Dalam perkembangan selanjutnya, kita tidak boleh menerima feedback atau masukan secara anarki. Selain itu, kita juga harus mau melakukan pembenahan.

MASYARAKAT SIPIL
o POTENSI MASALAH
 Perpecahan dan disintegrasi
Disintegrasi yang timbul dalam masyarakat sipil dapat diakibatkan oleh berbagai benturan kepentingan.

 Tirani sipil
Tirani sipil adalah mereka yang suka memaksakan kehendak, dan tidak membuka peluang untuk menerima pendapat orang lain.
 Remote control imperialism

Adalah suatu rekayasa sospol yang membuat suatu negara berkuasa atas negara yang lain. Metode ini digunakan untuk melemahkan kekuatan pertahanan negeri muslim, dan patut diwaspadai.

o TENDENSI GHAZWUL FIKRI
 Setting dinamika sospol ke arah ‘kegagalan demokrasi’ Barat

o PELUANG TAKTIS
 Pemberdayaan politik masyarakat
 Pemerataan dinamika sospol
 Anti represif
 Kritisisme dan audit publik
 Advokasi masyarakat grassroot dan marjinal

o PELUANG STRATEGIS
 Mobilitas vertikal dan horisontal dakwah
 Partisipasi dalam kebijakan publik
 Legitimasi sosial politik dakwah


Konsep Diri Wanita Muslimah

Oleh: Hani Handayani

Andakah Ukhti Muslimah Mujahidah?
- Be honest, is it you?
- Prove it!!
- Why?
- What for?
- Till when?
- What next?


Manusia memiliki 5 Tingkatan lapisan Kesadaran:
1. Kesadaran Jaga (Conscious Mind) = Penginderaan
2. Bawah Sadar (Subconscious Mind) = Intelek
3. Lapisan Pertama Kesadaran Supra = Kreativitas
4. Lapisan Kedua Kesadaran Supra = Intuisi
5. Lapisan Ketiga Kesadaran Supra = Spiritualitas
(Shrii P. R. Sarkar)

Realitas Dunia Pendidikan

Dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang inheren dari mekanisme politik, birokrasi, dan mobilisasi. Bersekolah bukanlah mencari ilmu (sekedar menghapalkan pengetahuan tertentu), bukanlah mengolah kreativitas (bahkan guru acapkali merupakan agen dekreativitas), dan bukan pula menggali dan mengembangkan kepribadian (bersekolah ialah penyeragaman atau penghapusan unikum manusia) (Emha Ainun Najib).

Realitas Kehidupan Kontemporer:
o Perkembangan zaman semakin rumit
o Tingkat kompetisi semakin tinggi
o Perubahan yang tidak menentu
o Derasnya arus informasi
o Dll.

Kurikulum Pengembangan Diri:
o Keterampilan Dasar
o Keterampilan Hidup
o Keterampilan Spiritual
o Keterampilan Dasar Profesional

Keterampilan Dasar:
o Keterampilan belajar mandiri
o Keterampilan bahasa
o Logika matematika
o Membaca
o Mendengar
o Observasi
o Mengingat
o Berpikir kreatif

Keterampilan Hidup:
1. Keterampilan Personal
2. Keterampilan Sosial
3. Keterampilan Berpikir

1. Keterampilan Personal
 Pengenalan Diri
 Kepercayaan Diri
 Motivasi
 Rasa Tanggung jawab
 Insiatif
 Pembentukan Karakter

2. Keterampilan Sosial
 Empati
 Komunikasi
 Manajemen Konflik
 Dinamika Kelompok

3. Keterampilan Berpikir
 Kemampuan Memecahkan Masalah
 Berpikir Kreatif dan Lateral

Keterampilan Spiritual
o Naluri Ketuhanan
o Kemampuan memahami nilai universal
o Kemampuan menjiwai Al Qur’an dan Hadits dalam kesadaran aqidah, fikih, akhlak, dan kepribadian.

Keterampilan Dasar Profesional:
Diperlukan untuk memahami ilmu lebih lanjut atau untuk mengembangkan spesialisasi, di antaranya:
o Bidang Science
o Bidang Humaniora

PERGERAKAN MAHASISWA MUSLIMAH: DARI MANA MAU KE MANA ?

Oleh : Sri Utami

Pendahuluan
Gerakan mahasiswa Indonesia mencatat tinta emas pada akhir abad 20 di mana berkat kegigihan perjuangan mahasiswa, akhirnya rezim otoriter Soeharto tumbang setelah mencengkeram Indonesia selama tidak kurang dari 32 tahun. Setelah itu pun, gerakan mahasiswa kembali menunjukkan kekuatannya dengan mengoreksi secara maksimal pemerintahan Gus Dur, bahkan sampai saat ini masih tetap menunjukkan.


Di beberapa negara, gerakan mahasiswa menjadi pembuka lembaran baru kehidupan bangsa seperti di China, Turki, Iran, Mesir, Korea, Filipina, dan lain-lain. Hal ini karena harapan dan amanah yang tertumpu pada mereka. Al Quran secara khusus menyebut masa muda ini dan memuji manuver pemuda Ibrahim as, Ashabul Kahfi, Musa as, dll. Dalam khasanah peradaban Islam, diketahui peran yang sangat signifikan dari para pemuda yang sangat berarti bagi terbangunnya pondasi yang kokoh bagi bangunan Islam seperti Ali bin Abi Thalib, Mushab bin Umair, Sa’ad bin Muadz, dll. Demikian pula sumbangan dari kalangan wanita, ada tokoh muda seperti Ummu Kultsum, Aisyah ra, dll. Seorang tokoh pergerakan Islam kotemporer Hasan Al Banna bahkan secara khusus menyelipkan satu risalah spesial untuk pemuda dan mahasiswa. Sejarah kita juga mencatat kongres wanita Indonesia yang digerakkan oleh para aktivis wanita.

Lalu dalam peta pergerakan mahasiswa Indonesia, di manakah peran mahasiswa muslimah? Peran mahasiswa muslimah tidak mungkin dipisahkan dari gerakan mahasiswa secara keseluruhan. Karena dalam pergerakan mahasiswa Indonesia kerja sama yang solid tampak mewarnai dinamika yang ada. Dengan sekilas pandang saja, asumsi ini langsung dapat pembenarannya, karena dari denyut pergerakan di berbagai universitas di Indonesia, “Gerak” mahasiswa muslimah sudah langsung dapat terlihat. Di sebagian besar universitas baik yang negeri maupun swasta, aktivis muslimah mewarnai berbagai kegiatan baik kegiatan umum, keilmuan, maupun kegiatan keislaman. Kegiatan turun ke jalan juga marak diramaikan oleh aktivis mahasiswi muslimah.

Namun demikian, berbagai manuver tersebut mungkin sudah saatnya untuk dibuatkan beberapa catatan kritis untuk dievaluasi, seperti yang hari ini dilakukan oleh Badan Khusus Muslimah KAMMI. Sejauh mana gerakan mahasiswa muslimah memberikan kontribusi bagi perbaikan bangsa?

Agenda Permasalahan Bangsa:
• Korupsi dan penyelewengan
• Kemiskinan
• Pendidikan dan rendahnya kualitas SDM
• Pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan
• Kesehatan
• Ketergantungan pada kekuatan asing
• Merosotnya moralitas dan penetrasi budaya destruktif

Peran Mahasiswa Muslimah:
• Pemberdayaan masyarakat melalu penyadaran hak dan kewajiban
• Mengokohkan kekuatan sebagai pressure power
• Transformator aspirasi rakyat
• Mengontrol pemerintahan dalam mewujudkan clean and good government
• Bersiap untuk menjadi iron stock, pelanjut tongkat estafet
• Pemeran model, contoh teladan
• Idealisme sebagai ibu pelahir generasi berkualitas

Agenda Pemberdayaan Perempuan:
• Peningkatan kualitas hidup masyarakat khususnya perempuan : kesejahteraan, pendidikan, moralitas, partisipasi dalam pembangunan baik sosial, politik, dan budaya yang konstruktif.
• Permasalahan “khas perempuan” seharusnya dipandang sebagai masalah kemanusiaan sehingga tidak hanya kaum perempuan saja yang tergerak untuk menyelesaikannya.
• Permasalahan khusus perempuan seperti kekerasan, women and children trafficting, dll merupakan implikasi permasalahan lain yang semakin mendasar : pendidikan, kemiskinan, moralitas.

Strategi :
• Peneguhan idealisme: bahwa hanya Islamlah satu-satunya the final solution, untuk itu mahasiswi muslimah tidak akan pernah berhenti menggali khasanah kekayaan Islam sebagai way of life.
• Visi yang jauh kedepan : QS 9:71 : misi; tujuan; sasaran
• Manajeman organisasi yang rapi
• Disiplin komitmen yang tinggi terhadap gerakan
• Soliditas aktivis lokal, regional, network sesama aktivis muslim
• Libatkan mahasiswa lain, jangan eksklusif, gaul, inklusif, terbuka,simpatik, supel
• Inovatif, kreatif dan atraktif dalam penyajikan issue agar pesan dapat diterima masyarakat dan melahirkan dukungan yang lebih luas
• Bangun kerjasama dengan kekuatan lain: gerakan mahasiswa lain, LSM, kekuatan lain : media, kelompok masyarakat, pengusaha dll dengan menjaga independensi (kajian sumber daya)
• Fokus gerakan : issue besar kita, pendidikan dan moral

Catatan kecil :
- Meningkatkan kepercayaan diri (pe-de)
- Miskin tokoh muslimah
- Tidak latah, issue tidak sektoral, pandai mengemas issue, vokal
- Tampilan fisik
- Prestasi vs aktivitas
- Pasca kuliah

Urgensi Kepemimpinan Muslimah secara Tarbawi

Oleh: Drs. Mahfudz Sidiq, M.Si.

Urgensi kepemimpinan muslimah dalam bidang politik dalam lingkungan pergerakan Islam masih merupakan tema yang pro kontra. Dalam dakwah-dakwah Islam, muslimah tidak dapat dipisahkan dengan aspek politik yang juga termasuk aspek kehidupan yang tidak dapat dipisahkan.

Qardhawi mengatakan bahwa dalam negeri yang bukan muslim, kepemimpinan wanita sangat mungkin terjadi. Tetapi, dalam negeri Islam, seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin.

Dalam proses perubahan global yang terjadi saat ini, mengakibatkan wacana/agenda politik muslimah sering berada pada ruang abu-abu, yaitu berada pada ruang percampuran ideologi. Tidak sedikit yang tidak menyadari percampuran agenda yang melandasi peran politik muslimah. Oleh karena itu, agenda perjuangan muslimah harus memiliki sahibul makdah atau starting point yang jelas dan kuat, manhaj atau metodogi, dan sasaran. Selain itu, agenda muslimah juga harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Unity, yaitu komunitas yang tidak bisa dibela-belah berdasarkan gender.
2. Partnership, yaitu prinsip yang mendudukkan laki-laki dan wanita setara dalam berbuat kebajikan.

Menurut Yusuf Qardhawi, gerakan dakwah yang melakukan gerakan perubahan harus mencapai titik yaitu memimpin masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kader-kader yang memiliki kredibilitas untuk dipilih sebagai pemimpin masyarakat.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembinaan kader-kader pemimpin:
1. Harus memastikan bahwa kader-kader adalah orang-orang yang memiliki kematangan ideologis, pemikiran, dan perilaku.
2. Bagaimana memperluas wilayah ruang interaksi dengan lapangan.
3. Tidak boleh bergantung pada figur-figur tertentu, harus dibangun dengan proses mobilitas vertikal yang terencana secara sistematik.

Kamis, 18 Maret 2010

Peran Politik Muslimah dalam Perspektif Politik Dakwah

Oleh: Mahfudz Siddiq

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan solat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)


“Bersedekahlah, bersedekahlah kalian (kaum laki-laki), sebab yang sudah banyak bersedekah adalah dari kalangan perempuan.” (HR. Muslim)
“…Islam telah meninggikan derajat perempuan dan mengangkat nilai kemanusiaannya
serta menetapkannya sebagai mitra dan partner bagi laki-laki dalam kehidupan.

Perempuan adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari perempuan. Islam mengakui hak-hak pribadi, hak-hak peradaban, dan hak-hak politik perempuan secara utuh dan sempurna.
Islam memperlakukannya sebagai manusia seutuhnya, yang memiliki hak dan kewajiban,
diberi imbalan pahala bila ia menunaikan kewajiban-kewajibannya dan diberikan kepadanya apa yang menjadi hak-haknya. Al-Qur’an dan Hadits penuh dengan nash-nash yang menegaskan dan menjelaskan makna di atas.” (Hasan Al-Banna dalam Risalah An-Nisaa)

Perspektif Islam terhadap Perempuan

Sebagaimana terhadap lelaki, Islam memandang dan memperlakukan perempuan dalam perspektif yang multi-dimensi, sesuai dengan keutuhan peran kemanusiaannya. Sebagai seorang individu berjenis kelamin perempuan, ia menjadi pasangan lelaki yang saling membutuhkan. Seorang pujangga pernah berkata:
Kaum perempuan itu bagaikan minyak kesturi…
yang diciptakan untuk kita…
setiap kita tentu senang mencium aromanya.

Sebagai bagian dari kehidupan sosial dalam institusi terkecil dan inti, yaitu keluarga, perempuan memainkan peran sentral dalam pengelolaan semua sumber daya dalam keluarga. Dalam posisi sebagai seorang ibu misalnya, seorang pujangga pernah berkata:
Seorang ibu ibarat sekolah…
apabila kamu siapkan dengan baik…
berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya.

Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan politik dalam institusi formal bernama negara. Ungkapan lain dari seorang pujangga adalah:
Perempuan adalah tiang negara…
Jika ia baik, baiklah negara…
Jika ia rusak, maka rusaklah negara.

Dalam perspektif dakwah Islam, kehadiran perempuan menempati posisi dan peran penting sejak masa persiapan dakwah, yaitu kehadiran Khadijah sebagai istri Muhammad, sebelum menjadi nabi hingga keterlibatan dua perempuan Anshar dalam bai’at Aqabah, yang merupakan pilar penting bagi upaya pembentukan negara Madinah. Bahkan dalam tinjauan sirah nabawiyah, perempuan muslimah senantiasa tampil dalam hampir semua setting sejarah dakwah.

Tujuan Dakwah Islam Berkenaan dengan Perempuan

Dengan memahami prinsip kesempurnaan, kemenyeluruhan dan keseimbangan ajaran Islam dalam relasi antara lelaki dan perempuan, serta memperhatikan realitas kehidupan sosial sebelum datangnya Islam, maka dakwah Islam secara khusus memiliki beberapa tujuan pokok berkenaan dengan perempuan, yaitu:
- Mengembalikan kedudukan perempuan sebagai hamba Allah yang sederajat dengan lelaki, dan memuliakan martabatnya dengan hak dan kewajiban yang seimbang.
- Meletakkan aturan tentang relasi lelaki dan perempuan untuk menjaga eksistensi perempuan dari eksploitasi hawa nafsu manusia dan masyarakatnya.
- Memberikan ruang dan jalan bagi perempuan untuk menjadi unsur kekuatan Islam dan dakwah – bersama kaum lelaki - dalam mewujudkan tujuan-tujuan umum risalah syari’at.

Dengan rumusan tujuan ini, maka dakwah Islam akan memandang perempuan sama bobot pentingnya sebagaimana lelaki, dan memposisikannya sebagai unsur aktif (subyek) dalam misi dakwah untuk membangun masyarakat dan peradaban Islami. Dalam implementasinya, relasi lelaki dan perempuan serta peran-peran positif yang dijalankan keduanya mengacu kepada prinsip-prinsip umum syari’at dengan semua karakteristiknya. Ketidakseimbangan dalam penerapan syari’at mengenai hal ini akan menyebabkan timbulnya masalah dalam bangunan dakwah, dan akan berdampak buruk bagi masyarakat yang ingin dibangunnya.
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 7-9)
Juga, dakwah Islam mestilah menetapkan sasaran-sasaran dakwahnya mengenai perempuan dan permasalahannya secara baik dan tepat. Artinya, perempuan juga menjadi obyek penting dari dakwah. Secara statistik, perempuan merupakan hampir setengah dari keseluruhan anggota masyarakat, yang artinya setidaknya setengah dari permasalahan masyarakat adalah masalah kaum perempuan.

Politik dan Dakwah Islam

Pengertian paling umum dari politik adalah kekuasaan dan kepemimpinan. Tidak ada ruang dan aspek kehidupan masyarakat yang tidak terkait dengan kedua hal ini, bahkan pada tataran manusia sebagai individu sekalipun. Sabda Nabi SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa-apa yang dipimpinnya.” (Al-Hadits)

Kekuasaan dan kepemimpinan memainkan peranan sentral dalam kehidupan, sehingga baik-buruknya kekuasaan dan kepemimpinan akan mempengaruhi baik-buruknya kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Ketika Islam bertujuan untuk membangun kehidupan yang baik dan diridhai Allah SWT, maka kekuasaan dan kepemimpinan menjadi salah satu sasaran penting dakwah.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku…” (QS. An-Nuur: 55)

Oleh karena itulah, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, kaum perempuan memiliki keharusan untuk peduli dan terlibat dalam masalah politik, termasuk urusan kekuasaan dan kepemimpinan. Perhatian riwayat berikut ini:
“Dari Qais bin Abu Hazim ia berkata bahwa Abu Bakar mendatangi seorang perempuan. Perempuan itu berkata: “Apakah yang menetapkan kami atas perkara yang baik ini (Islam), yang didatangkan oleh Allah setelah zaman jahiliyah?” Abu Bakar menjawab: “Yang menetapkan kalian atas perkara (Islam) ini ialah selagi para pemimpin tegak (pada jalan yang benar) besertamu”. Perempuan itu bertanya lagi: “Siapakah para pemimpin itu?” Abu Bakar menjawab: “Tidakkah kaummu memiliki beberapa pembesar dan tokoh yang memerintah mereka, lalu mereka menta’atinya?” Perempuan itu menjawab: “Ya”. Abu Bakar berkata: “Mereka itulah pemimpin atas semua orang.” (HR. Bukhari)

Aktualisasi Peran Politik Muslimah dalam Dakwah

Aktualisasi peran politik muslimah akan berkaitan erat dengan problematika kehidupan yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan politik. Problem politik mendasar negeri-negeri muslim adalah kebodohan politik umat dan kezaliman para penguasa. Dakwah politik dengan demikian bertujuan untuk membebaskan umat dari kebodohan politik dan membebaskan umat dan belenggu kezaliman para penguasanya, untuk kemudian menghadirkan suatu kehidupan politik baru yang Islami. Dalam konteks ini, aktualisasi peran politik muslimah dalam dakwah bisa dirumuskan:

1. Ikut serta melakukan penyadaran politik umat, dengan:
a. Melakukan pendidikan politik dalam keluarga
b. Melakukan aktivitas pengajaran kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban politik sebagai warga.
c. Melakukan aktivitas dakwah untuk mengembalikan loyalitas (al-wala’) umat kepada Islam.

2. Ikut serta dalam melakukan kontrol terhadap kekuasaan dan kepemimpinan, dengan:
a. Aktif memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat, khususnya kaum perempuan dari penguasa.
b. Melakukan kritik terhadap perilaku dan kebijakan kekuasaan.

3.Ikut serta dalam proses pembangunan kehidupan politik yang Islami, dengan:
a. Terlibat dalam pemberdayaan berbagai institusi kemasyarakatan, khususnya institusi sosial-politik.
b. Berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis, dan menjalankan peran-peran kepemimpinan politik.

4. Berperan aktif dalam pengelolaan opini umum yang Islami, dengan:
a. Aktif menyebarluaskan pemikiran dan pandangan politik Islami ke masyarakat.
b. Aktif melakukan pencegahan opini negatif dan melakukan serangan-balik (counter) opini.

Dengan formulasi peran-peran semacam ini, dakwah dituntut untuk mengembangkan sistem organisasi yang mendukung proses aktualisasinya dan sekaligus menjaga kemaslahatannya. Namun sebagai catatan penting, proses aktualisasi peran politik ini memerlukan proses pembelajaran yang efektif, dan keluarga merupakan ruang pembelajaran bagi aktualisasi peran politik yang paling memadai.
Wallahu a’lam bish-shawaab.

AMAL JAMA’I

1.A. PENGERTIAN AMAL JAMA’I
Amal Jama’i (gerakan bersama) secara bahasa berarti “sekelompok manusia yang berhimpun bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama.”
Al-‘amalul al-jamaa’i berarti bekerja sama berdasarkan kecepakatan dan bekerja bersama-sama sesuai tugas yang diberikan untuk memantapkan amal. Jadi, Al-‘amalul al-jamaa’i mendistribusikan amal (pekerjaan) kepada setiap anggota berdasarkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan.

MUSNAHKAN SIKAP AROGAN, Yang memakan habis seluruh kebaikan

Nabi S.A.W bersabda: "Hati-hatilah kamu sekalian terhadap hasad (dengki), karena sesungguhnya hasad akan memakan habis seluruh kebaikan sebagaimana api melalap habis kayu bakar" (HR Abu Daud)

Dalam surat Al-Falaq, Allah memerintahkan kaum beriman untuk memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Arti al-hasad atau dengki adalah mengharapkan kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain lenyap. Adapun apabila hanya mengharapkan mempunyai kenikmatan yang serupa tanpa dibarengi dengan harapan agar nikmat itu lenyap dari tangan orang lain, hal ini bukan al-hasad, melainkan ghibthah dan munafasah (persaingan yang sehat).

Akan tetapi, terkadang kata al-hasad diartikan juga al-ghibthah. Apabila demikian, berarti mengandung arti yang positif. Hal seperti ini dianggap sebagai hal yang terpuji dalam dua keadaan, yaitu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah S.A.W :
"Tiada iri hati (yang diperbolehkan) [laa hasada] selain hanya dalam dua hal, yaitu seseorang yang diberi oleh Allah harta, lalu dia membelanjakannya untuk hal yang hak, dan seorang lelaki yang diberi oleh Allah ilmu, lalu dia mengamalkannya dengan konsekuen dan mengajarkannya (kepada orang lain)" (HR Bukhari).

Dengki adalah sifat buruk yang harus diwaspadai oleh setiap muslim. Sifat ini tidak pantas menyertai seorang muslim yang berimana pada Allah, Rasul, dan hari akhir.
Salah satu ciri khas seorang muslim yang benar adalah jiwa yang bersih dari sifat menipu dan dengki, dan dari menyalahi janji dan dendam kesumat. Kebersihan jiwalah yang mendorong seorang manusia ikhlas menghamba kepada Allah, beribadah, menegakkan shalat, dan bermunajat pada malam hari, berpuasa di siang hari. (HR Ahmad)

Dalam salah satu riwayat, diceritakan bahwa Rasulullah S.A.W pernah menyebutkan seorang sahabat Anshor sebagai "seorang dari penghuni surga".
Abdullah bin Amru yang ingin mengetahui amalan sahabat Ansor tersebut, meminta izin untuk tinggal di rumahnya selama tiga hari. Abdullah tidak menemukan amalan yang istimewa, dia tidak sekalipun melihat lelaki itu melakukan shalat malam, kecuali bahwa setiap lelaki itu berbalk dalam tidurnya, dia menyebutkan nama Allah.
Akhirnya Abdullah bin Amru menanyakan apa sebabnya lelaki tersebut bisa mencapai derajat seperti yang dikatakan Rasulullah tsb. Dia menjawab: "tidak ada yang saya kerjakan selain apa yang telah kau perhatikan, tetapi tidak tersimpan sedikitpun dalam hatiku keinginan untuk menipu seorangpun dari kaum muslimin atau menaruh dengki padanya atas kebaikan yang dikaruniakan Allah kepadanya." Kemudian Abdullah berakata "Inikah yang telah mengangkat derajatmu setinggi itu?!"

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah S.A.W bersabda:
"Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya.
(1) Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam.
(2) Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang.
(3) Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya (HR Ibnu Asakir)

Muawiyah berkata, "Tidak ada sifat-sifat kejahatan yanglebih tegak daripada dengki. Orang yang dengki binasa sebelum orang yang didengkinya."
Dikatakan bahwa Musa as melihat seornag manusia di dekat 'Arasy. karena Musa ingin menempati kedudukan itu, beliau beranya, "Apa amalnya?" Pertanyaan itu dijawab, "Ia tidak pernah dengki terhadap manusia karena anugerah Allah swt kepadanya."

Umar bin Abdul Aziz menegaskan, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih zalim yang sama dengan kezaliman pendengki. Sebab ia senantiasa berada dalam keadaan sengsara dan nafas sesak."

EMPAT TANDA MUSLIM JAHILI

Salah satu konsekuensi seseorang menjadi muslim adalah meninggalkan segala bentuk nilai-nilai yang tidak Islami atau yang jahili. Karena itu setiap mu'min dituntut untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah atau menyeluruh. Allah berfirman yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu" (QS 2:208).

Ayat tersebut turun dengan sebab; ada sekelompok sahabat yang semula beragama Yahudi meminta kepada Nabi Saw agar dibolehkan merayakan atau memuliakan hari Sabtu dan menjalankan kitab Taurat. Maka turunlah ayat ini yang tidak membolehkan seseorang yang telah mengaku beriman tapi masih berprilaku sebagaimana prilakunya pada masa jahiliyah.

Meskipun demikian, masih banyak dari orang-orang yang mengaku beriman tapi tidak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang jahiliyah sehingga kepribadiannya masih bercampur dengan kepribadian jahiliyah, karenanya orang seperti itu pantas kita sebut dengan muslim yang jahili. Dari sekian banyak tandanya, Rasulullah Saw menyebutkan dalam satu hadits: "Empat perkara pada umatku dari perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu: membanggakan derajat keturunan, mencela keturunan, meminta hujan dengan binatang dan maratapi mayat" (HR. Muslim).

Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari sekian banyak tanda, ada empat tanda muslim jahiliyah yang disebutkan oleh Rasulullah Saw. Hal ini memang harus kita pahami dengan baik agar model kehidupan jahiliyah itu tidak kita jalani. Sahabat Umar bin Khattab pernah menyatakan: 'Kalau engkau hendak menghindari jahiliyah, kenalilah jahiliyah itu'.

1. Membanggakan Keturunan.

Kemuliaan dan ketaqwaan seseorang bukanlah diukur dengan keturunan dalam arti secara otomatis. Karena itu, kalau kita ingin membanggakan atau memuliakan seseorang, bukanlah karena keturunan, tapi karena iman dan prestasi amal shalehnya. Namun yang kita saksikan justeru sebaliknya. Tak sedikit orang yang terpilih menjadi pemimpin secara otomatis dengan sebab keturunan. Kalau bapak raja, maka anak secara otomatis akan menjadi raja meskipun sang anak belum tentu mampu menjadi raja, bahkan sebenarnya ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi raja. Begitulah dalam negara yang menggunakan sistim kerajaan.

Disamping itu, membanggakan keturunan juga dalam bentuk tidak menghukum orang-orang keturunan ningrat atau yang “berdarah biru” bila mereka melakukan kesalahan, bahkan kesalahan itu cenderung ditutup-tutupi, sementara bila orang biasa melakukan kesalahan, maka hukuman yang ditimpakan kepadanya jauh lebih berat daripada kesalahan yang dilakukannya. Ketika para sahabat menanyakan soal ini, Rasulullah Saw menegaskan: Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya.

2. Mencela Keturunan.

Karena kemuliaan seseorang harus kita ukur dengan ketaqwaannya kepada Allah Swt, maka seorang muslim tidak dibenarkan mencela orang lain dengan sebab keturunan, misalnya kalau bapak atau ibunya tidak baik, maka kita menganggap anak-anaknya juga tidak baik, lalu kita mencelanya, dan begitulah seterusnya. Memang adakalanya bila orang tua tidak baik, anaknya juga ikut menjadi tidak baik, namun kita tidak bisa menganggap semuanya seperti itu.

Pada masa jahiliyah, mencela keturunan memang biasa terjadi, bahkan seringkali permusuhan seseorang dengan orang lain akan turun-temurun kepada anak cucunya. Islam sangat tidak membenarkan perlakuan mencela orang lain, apalagi hanya karena keturunan, karena bisa jadi yang dicela sebenarnya lebih baik daripada yang mencela. Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS 49:11).

3. Meminta Hujan Dengan Binatang.

Turunnya hujan yang cukup merupakan dambaan manusia dalam kehidupan di dunia ini, karena dengan demikian, disamping akan terpenuhinya kebutuhan air yang memang sangat penting bagi manusia, juga dapat terpenuhinya air bagi pertanian dan peternakan serta lingkungan hidup akan terasa lebih nyaman.

Manakala terjadi kemara panjang, maka akan berakibat pada semakin panasnya suhu udara dan menipisnya persediaan air bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Islam mengajarkan kepada kita untuk meminta hujan kepada Allah Swt dengan melaksanakan shalat istisqa.

Namun dalam kehidupan masyarakat kita, terdapat budaya yang justeru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri dalam kaitan meminta hujan, yakni meminta hujan melalui binatang, misalnya dengan menyiram kucing dengan air dan sebagainya. Perbuatan semacam ini bukan hanya mengganggu binatang, tapi juga dapat merusak keyakinan yang bersih, sesuatu yang harus selalu dipelihara oleh setiap muslim agar keyakinannya tidak bercampur dengan kemusyrikan. Karena itu, apalabila ada seorang muslim meminta hujan dengan perantaraan binatang, maka keyakinan dan prilakunya itu berarti masih bersifat jahiliyah.

4. Meratapi Mayat.

Mati merupakan suatu hal yang biasa. Setiap kita pasti akan mencapai kematian, cepat atau lambat. Ketika ada anggota keluarga kita, orang-orang yang kita cintai atau tokoh masyarakat yang menjadi penutan kita dalam kebaikan meninggal dunia, kesedihan atas kematian mereka merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Bahkan Umar bin Khattab ketika dikhabarkan bahwa Rasulullah Saw wafat beliau merasa tidak percaya, karenanya dengan pedang di tangan, beliau menyatakan bahwa kalau ada yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw sudah wafat akan aku tebas batang lehernya. Menghadapi hal itu, maka sabahat Abu Bakar Ash Shidik menenangkan Umar bin Khattab dan menegaskan bahwa Rasulullah memang telah wafat.

Sedih atas kematian seseorang memang boleh saja, tapi kesedihan yang berlebihan sampai meratap dengan memukul-mukul badan, kepala, muka, menarik-narik rambut dan mengucapkan kata-kata yang menggambarkan tidak adanya rasa yakin atau percaya kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, karena itu, dala, kitab hadits Riyadush Shalihin, Rasulullah Saw menganggap orang seperti itu sebagai orang yang bukan umatnya, beliau bersabda yang artinya: "Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek saku dan menjerit dengan suara kaum jahiliyah" (HR. Bukhari dan Muslim).

Meratapi mayat terjadi karena seseorang tidak menerima kematian orang yang diratapinya itu, akibatnya karena memang kematiannya sudah tidak bisa ditolak lagi, maka diapun diperlakukan seperti layaknya orang yang masih hidup, misalnya dengan membangun kuburannya meskipun harus dengan biaya yang besar, berdo’a dengan meminta bantuan kepada orang yang sudah mati, berandai-andai kalau dia masih hidup hingga tidak berani meninggalkan wasiat-wasiatnya yang tidak benar sekalipun, bahkan ada kuburan yang diberi kelambu dan disediakan air minum di atasnya. Ini semua merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan di dalam Islam. Karenanya bila ada kaum muslimin melakukan hal itu, dia berarti masih melakukan praktek-paktek kejahiliyahan yang sangat tidak dibenarkan.

Dengan demikian, harus kita sadari bahwa sebagai seorang muslim, semestinya kita menjauhi dan meninggalkan segala praktek kehidupan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Bila hal itu tetap saja kita kerjakan, bisa jadi keimanan dan keislaman kita hanya sebatas pengakuan yang belum tentu diakui oleh Allah Swt dan Rasul-Nya

Dahsyatnya Proses Sakaratul Maut

Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sekejab, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”. (Imam Ghozali mengutip atsar Al-Hasan).

Datangnya Kematian Menurut Al Qur’an :

1. Kematian bersifat memaksa dan siap menghampiri manusia walaupun kita berusaha menghindarkan resiko-resiko kematian.
Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS Ali Imran, 3:154)

2. Kematian akan mengejar siapapun meskipun ia berlindung di balik benteng yang kokoh atau berlindung di balik teknologi kedokteran yang canggih serta ratusan dokter terbaik yang ada di muka bumi ini.
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? (QS An-Nisa 4:78)

3. Kematian akan mengejar siapapun walaupun ia lari menghindar.
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS al-Jumu’ah, 62:8)

4. Kematian datang secara tiba-tiba.
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS, Luqman 31:34)

5. Kematian telah ditentukan waktunya, tidak dapat ditunda atau dipercepat
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun, 63:11)


Dahsyatnya Rasa Sakit Saat Sakaratul Maut

Sabda Rasulullah SAW : “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW : “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)

Atsar (pendapat) para sahabat Rasulullah SAW .
Ka’b al-Ahbar berpendapat : “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan kedalam perut seseorang. Lalu, seorang lelaki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itupun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa”.

Imam Ghozali berpendapat : “Rasa sakit yang dirasakan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota tubuh sehingga bagian orang yang sedang sekarat merasakan dirinya ditarik-tarik dan dicerabut dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki”.

Imam Ghozali juga mengutip suatu riwayat ketika sekelompok Bani Israil yang sedang melewati sebuah pekuburan berdoa pada Allah SWT agar Ia menghidupkan satu mayat dari pekuburan itu sehingga mereka bisa mengetahui gambaran sakaratul maut. Dengan izin Allah melalui suatu cara tiba-tiba mereka dihadapkan pada seorang pria yang muncul dari salah satu kuburan. “Wahai manusia !”, kata pria tersebut. “Apa yang kalian kehendaki dariku? Limapuluh tahun yang lalu aku mengalami kematian, namun hingga kini rasa perih bekas sakaratul maut itu belum juga hilang dariku.”

Proses sakaratul maut bisa memakan waktu yang berbeda untuk setiap orang, dan tidak dapat dihitung dalam ukuran detik seperti hitungan waktu dunia ketika kita menyaksikan detik-detik terakhir kematian seseorang. Mustafa Kemal Attaturk, bapak modernisasi (sekularisasi) Turki, yang mengganti Turki dari negara bersyariat Islam menjadi negara sekular, dikabarkan mengalami proses sakaratul maut selama 6 bulan (walau tampak dunianya hanya beberapa detik), seperti dilaporkan oleh salah satu keturunannya melalui sebuah mimpi.

Rasa sakit sakaratul maut dialami setiap manusia, dengan berbagai macam tingkat rasa sakit, ini tidak terkait dengan tingkat keimanan atau kezhaliman seseorang selama ia hidup. Sebuah riwayat bahkan mengatakan bahwa rasa sakit sakaratul maut merupakan suatu proses pengurangan kadar siksaan akhirat kita kelak. Demikianlah rencana Allah. Wallahu a’lam bis shawab.


Sakaratul Maut Orang-orang Zhalim

Imam Ghozali mengutip sebuah riwayat yang menceritakan tentang keinginan Ibrahim as untuk melihat wajah Malaikatul Maut ketika mencabut nyawa orang zhalim. Allah SWT pun memperlihatkan gambaran perupaan Malaikatul Maut sebagai seorang pria besar berkulit legam, rambut berdiri, berbau busuk, memiliki dua mata, satu didepan satu dibelakang, mengenakan pakaian serba hitam, sangat menakutkan, dari mulutnya keluar jilatan api, ketika melihatnya Ibrahim as pun pingsan tak sadarkan diri. Setelah sadar Ibrahim as pun berkata bahwa dengan memandang wajah Malaikatul Maut rasanya sudah cukup bagi seorang pelaku kejahatan untuk menerima ganjaran hukuman kejahatannya, padahal hukuman akhirat Allah jauh lebih dahsyat dari itu.

Kisah ini menggambarkan bahwa melihat wajah Malakatul Maut saja sudah menakutkan apalagi ketika sang Malaikat mulai menyentuh tubuh kita, menarik paksa roh dari tubuh kita, kemudian mulai menghentak-hentak tubuh kita agar roh (yang masih cinta dunia dan enggan meninggalkan dunia) lepas dari tubuh kita ibarat melepas akar serabut-serabut baja yang tertanam sangat dalam di tanah yang terbuat dari timah keras.

Itulah wajah Malaikatul Maut yang akan mendatangi kita kelak dan memisahkan roh dari tubuh kita. Itulah wajah yang seandainya kita melihatnya dalam mimpi sekalipun maka kita tidak akan pernah lagi bisa tertawa dan merasakan kegembiraan sepanjang sisa hidup kita.

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS Al-An’am 6:93)
(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat lalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); "Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun". (Malaikat menjawab): "Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan". Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu. (QS, An-Nahl, 16 : 28-29)

Di akhir sakaratul maut, seorang manusia akan diperlihatkan padanya wajah dua Malaikat Pencatat Amal. Kepada orang zhalim, si malaikat akan berkata, “Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik, engkaulah yang membuat kami terpaksa hadir kami ke tengah-tengah perbuatan kejimu, dan membuat kami hadir menyaksikan perbuatan burukmu, memaksa kami mendengar ucapan-ucapan burukmu. Semoga Allah tidak memberimu balasan yang baik ! “ Ketika itulah orang yang sekarat itu menatap lesu ke arah kedua malaikat itu.

Ketika sakaratul maut hampir selesai, dimana tenaga mereka telah hilang dan roh mulai merayap keluar dari jasad mereka, maka tibalah saatnya Malaikatul Maut mengabarkan padanya rumahnya kelak di akhirat. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tak seorangpun diantara kalian yang akan meninggalkan dunia ini kecuali telah diberikan tempat kembalinya dan diperlihatkan padanya tempatnya di surga atau di neraka”.
Dan inilah ucapan malaikat ketika menunjukkan rumah akhirat seorang zhalim di neraka, “Wahai musuh Allah, itulah rumahmu kelak, bersiaplah engkau merasakan siksa neraka”. Naudzu bila min dzalik!


Sakaratul Maut Orang-orang Yang Bertaqwa

Sebaliknya Imam Ghozali mengatakan bahwa orang beriman akan melihat rupa Malaikatul Maut sebagai pemuda tampan, berpakaian indah dan menyebarkan wangi yang sangat harum.

Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Assalamu alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan". (QS, An-Nahl, 16 : 30-31-32)

Dan saat terakhir sakaratul mautnya, malaikatpun akan menunjukkan surga yang akan menjadi rumahnya kelak di akhirat, dan berkata padanya, “Bergembiaralah, wahai sahabat Allah, itulah rumahmu kelak, bergembiralah dalam masa-masa menunggumu”.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Semoga kita yang masih hidup dapat selalu dikaruniai hidayah-Nya, berada dalam jalan yang benar, selalu istiqomah dalam keimanan, dan termasuk umat yang dimudahkan-Nya, selama hidup di dunia, di akhir hidup, ketika sakaratul maut, di alam barzakh, di Padang Mahsyar, di jembatan jembatan Sirath-al mustaqim, dan seterusnya.
Amin !

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi'in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.

Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu : "Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita". Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya". Lalu anak muda itu bertanya: " Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?" Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu". Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. "Kamu berdoa sudah bagus", kata Nabi SAW, "Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.

Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa ‘sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia ”), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.

Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.

Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).

Shidqul Intima (Menjadi Anggota Jamaah Yang Sebenarnya)

Shidqul intima sama dengan menolong dakwah dan menjaga fikrah sama dengan menjadi anggota jamaah yang sebenarnya

Perkumpulan ataukah Jamaah?

“Sesungguhnya tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”. Sebuah hakikat abadi yang dikumandangkan dan digemakan oleh Umar Al-Faruq RA semenjak 1400 tahun yang lalu. Melalui hakikat ini beliau menetapkan bahwa Islam tidak dapat tegak kecuali melalui sebuah jamaah yang memikulnya, menyeru kepadanya, membelanya dan berjihad di jalannya.


Peran Muslimah itu Strategis dan Kontributif

Oleh: Ustadzah Yoyoh Yusroh

Peran sahabiyyah di zaman rasulullah sangat banyak dan beragam. Sementara sekarang ada pemikiran yang mengerucutkan peran muslimah itu menjadi dua poin ekstrim ibu bekerja dan ibu rumahtangga. Bagaimana sebenarnya?

Peran muslimah, sesungguhnya bukan sekedar pelengkap, pemanis, atau sekedar peran di belakang layar. Dari siroh kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis.


Dalam perencanaan penempatan pasukan, misalnya, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrahnya, di belakang.. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contoh, Nasibah Al- Mazniyyah, Srikandi Perang Uhud. Di saat genting, Umar, dan bahkan Abu Bakar minggir ketika mendengar kabar Rasulullah telah mati. Meeka tidak punya semangat lagi untuk berjihad, karena mereka pikir, siapa lagi yang mau dibela? Saat itu Rasul pingsan. Saat tersadar, ia tidak melihat kehadiran orang lain kecuali Nasibah. Kemudian Rasulullah mempersilakannya meminta kepadanya, ''Ya Nasibah, salmi, salmi/ mintalah , mintalah''. Kemudian Nasibah meminta ''Ya Allah jadikanlah aku sebagai temannya di surga''. Rasullah langsung memohon kepada Allah '' Ya Allah jadikanlah Nasibah ini menjadi temanku di surga,''

Nasibah berperan langsung, bahkan dalam perang fisik. Tadinya ia memegang dua pedang. Tapi, setelah ia kehilangan sebelah tangannya, ia memberikan salah satu pedangnya kepada anaknya.

Dalam peperangan itu, Nasibah kehilangan suami, anak, dan sebagian anggota badannya. Dalam kondisi genting seperti itu, Rasulullah tidak mengatakan ''Nasibah, ngapain kamu di sini?'' Tidak. Jadi, meski sebelumnya ia berada di deretan pasukan belakang, saat itu Nasibah berperan sebagai pendamping rasul karena tidak ada yang melakukannya.

Bagaimana kerjasama yang dibangun oleh para sahabiyat sehingga mereka mampu menjalankan peranan yang beraneka ragam?

Pada masa itu, muslimah itu adalah obyek sekaligus subyek. Seperti yang dikatakan Rasulullah an-nisaai saqoo iqurrijal, wanita itu saudara kandungnya laki-laki. Namanya saudara kandung, ya harus tolong menolong.

Bentuk realisasi tolong-menolongnya bagaimana?

Ada penjelasan dalam buku alakhwatul mu’minah, karangan Munir Gadhban. Saat Ja’far Aththoyyar meninggal, para muslimah menjalankan aksi untuk meringankan beban keluarganya, terutama istrinya, Asma’ binti Umais. Tidak ada aktivitas masak saat itu di rumah Asma karena para sahabiyat telah memasakannya di rumah mereka masing-masing.

Aplikasinya zaman sekarang, kita harus saling membantu saat akhwat yang lain membutuhkan kita. Sebagaimana kita mengetahui bahwa suksesnya dakwahnya rasul sangat didukung oleh kerjasama para sahabiyat. Bila suami-suami para sahabiyat lain sedang berjihad, mereka saling tolong-menolong. Padahal perginya para sahabat itu bukan cuma berbilang hari, tapi berbilang bulan. Dan hal itu kan tidak mudah. Saat suami tidak ada di rumah, para sahabiyat kan harus menjalankan peran ibu sekaligus ayah, yang antara lain adalah sebagai penyangga ekonomi.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan muslimah sekarang yang menjalani peran profesionalnya?

Peran profesional muslimah adalah peran kontributif. Peran utamanya adalah di rumah. Ketika dia ke luar rumah dan menjalankan peran sesuai dengan kapasitasnya secara jujur, sesungguhnya ia tengah ikut bersama kaum pria untuk membangun bangsa ini. Meski demikian perlu diingat, bahwa kalau mau dilihat secara jumlah atau prosentasenya, sebenarnya wanita yang dikaruniai peran kontributif itu jumlahnya lebih kecil daripada ‘wanita rata-rata’.

Ketika seorang muslimah memiliki potensi dan kesempatan untuk menjalani peran publik, maka ia harus menjalaninya dengan baik. Ia harus didukung oleh keluarganya, juga oleh masyarakat (negara). Keluarga harus merelakan waktu dan tenaga muslimah ini tidak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk menjalankan amanah profesi. Muslimah itu juga harus menjalaninya profesinya secara amanah, sejujur-jujurnya. Caranya adalah dengan mencari cara yang efektif dan efisien untuk berperan optimal.

Keluarga, tetangga, dan kerabat pun seharusnya mendukung dengan cara bekerjasama. Misalnya, tetangga bisa terlibat dengan pengasuhan anaknya. Bukan mencemooh.

Pemerintah juga berkewajiban menyediakan Tempat Penitipan Anak (TPA) karena menggunakan tenaga dan pikiran ibu2. Idealnya, setiap instansi itu kan punya.

Kita memang perlu menciptakan dunia yang ramah bagi muslimah, ramah untuk peran reproduksi wanita.

Sekarang ini muslimah kita yang menjalankan amanah publik menjadi penuh perasaan bersalah. Tidak ada dukungan dari keluarga, dari tempat bekerja, dari pemerintah. Bahkan, sedihnya sesama muslimah pun tidak bekerjasama, tapi malah mencemooh. Akibatnya, muslimah yang bekerja di luar rumah tidak optimal karena tidak ada daya dukung.

Bagaimana dengan muslimah yang masih membuat dikotomi peran secara ekstrim? Apa yang dapat dilakukan untuk menjembatani keduanya?

Muslimah harus jujur melaksanakan potensinya. Ketika dia punya potensi publik, ia harus menjalankan peranan publiknya tanpa mengabaikan peranannya yang utama, sebagai ibu dan istri. Ketika dia tidak memiliki kapasitas publik, maka ia harus berupaya optimal menjalankan peranan utamanya itu.

Idealnya, keduanya dapat membangun kerjasama nyata. Bukan saling mencemooh, atau merasa diri paling shalihat diantara yang lain.

Sebuah Kesaksian

oleh : ust. Hilmi Aminuddin

Sebagai shahibul dakwah, shahibul masyirah, teman perjalanan dalam dakwah dan perjuangan, saya memberikan kesaksian yang tulus, jujur, ikhlas pada Ustadz Rahmat Abdullah. Sepanjang 25 tahun dalam perjalanan dakwah, dalam tugas apapun, dalam fungsi apapun, dalam posisi apapun, akhuna rahimahumullah Rahmat Abdullah selalu mengambil posisi yang terbaik, selalu mengambil peran yang terbaik, selalu memberikan sumbangan yang terbaik.

Saya, 25 tahun yang lalu merasakan kehangatan tangan beliau ketika mengulurkan tangan untuk bersama-sama membangun dakwah ini, memuliakan dakwah ini. Beliau menyambut para pendiri jamaah dakwah ini untuk membangun anak tangga keberhasilan, bagi perjuangan membela umat ini. Walaupun, tangga-tangga yang beliau bangun itu, tidak sempat menitinya.

Peran dan posisi terbaik, selalu beliau tunjukkan. Saat menjadi sahabat beliau adalah khairul ashab (sebaik-baik sahabat), ketika menjadi suami beliau adalah khairul azwaj (sebaik-baik suami), ketika menjadi seorang bapak beliau adalah khairul aaba (sebaik-baik orang tua), ketika beliau menjadi seorang mutarabbi (murid) beliau adalah khairul mutarrabbin (sebaik-baik murid), dan ketika beliau menjadi murabbi (guru) beliau adalah khairul murabbin (sebaik-baik guru). Ketika menjadi jundi (prajurit) beliau adalah khairul junud (sebaik-baik prajurit), ketika menjadi qiyadah (pemimpin) beliau adalah khairul qiyadaat (sebaik-baik pemimpin).

Kenapa bisa demikian, karena modalnya hanya satu, ash-sidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam segala hal. Baik as shidqu ma’a robbihi (jujur kepada Allah swt) wa shidqu ma’a nafsihi (jujur kepada dirinya). Sehingga beliau dengan siapa pun tidak pernah memakai bahasa diplomasi, selalu tulus terbuka, ikhlas membuka diri. Kalau benar dia katakan benar, kalau tidak mampu dia katakan tidak mampu.

Dengan siapa pun ia selalu memakai bahasa hakikat. Oleh karena itu terpancar ash-shidq ini kepada segala aspek pergaulan, as shidqu ‘ala da’watihi wa sidhqu ‘ala jama’atihi. Seluruh perjalanan kehidupannya dihiasi dengan shidq. "Minal mu’minina rijalun shadaquu maa ‘aahadullaha ‘alaihi...."(QS. Al Ahzab:23)

Dan pada hari ini beliau dengan shidiq itu pula menghadap Robbul Alamin. Insya Allah sebentar lagi beliau akan menduduki posisi fi maq’adi shidqin ‘inda maliikin muqtadir. (QS. Al Qamar:55) yang akan mendapatkan posisi shidq yang mulia di sisi Allah swt.

Saat ini beliau telah kembali, setelah 3 tahun yang lalu mengantarkan murid beliau yang terbaik, Ust. Madani. Dan sekarang, beliau sendiri akan berkumpul dengan ashshabiqunal awwalun (para pendahulu) dari salafus shalih minal mujahidina wad du’aat insya Allah, dan sekali lagi insya Allah beliau akan menempati posisi yang mulia fi maq’adi shidqin ‘inda malikin muqtadir.

Pada kesempatan ini saya harus bersaksi wafaan lil baiah, wafaan lil ahd, wafaan lid dakwah sebagai bukti kesetiaan kita secara ukhuwah Islamiyah. Saya juga bersaksi bahwa beliau bukan saja orang terbaik di antara kita, tetapi beliau adalah orang yang paling kaya di antara kita, ghaniyyun bi rabbihi (kaya dengan Allah) yang menghujam sebagai akidah di lubuk hati nuraninya sehingga memancarkan kekayaan moral, kekayaan spiritual, kekayaan akhlak, kekayaan ibadah, kekayaan amanah, kekayaan istiqomah. Beliau adalah aghnan naas ‘indana (orang yang terkaya diantara kita) kalau dilihat dari kekayaan beliau adalah azhadun naas, paling jauh dari mengejar kekayaan dan jabatan.

Dalam bulan-bulan terakhir ini, beliau menyampaikan rintihannya kepada saya berkali-kali, namun saya belum sempat mengabulkannya. Beliau tidak ingin di DPR lagi dan ingin lebih mengabdikan dirinya di medan dakwah. Saya sangat menyesal belum sempat mengabulkannya. Itu permintaan beliau yang berkali-kali beliau ucapkan selama 5 tahun memimpin persidangan Majelis Syuro.

Saya juga selalu menjadi saksi bagaimana beliau memimpin dengan mahabbah, dengan penuh cinta. Tidak ada suara yang dipatahkan, sebagaimana tidak ada suara yang diagungkan, semuanya didekati dengan mahabbah fillah (cinta karena Allah). Sehingga 5 tahun mengantarkan majelis syuro PKS, mampu menghasilkan aneka ragam kebijakan yang lahir dari mahabbah wa rahmah yang tercurah dari lubuk hati beliau.
Oleh karena itu, sekali lagi warisan yang beliau tinggalkan sebagai orang yang paling kaya diantara kita adalah warisan yang sangat banyak; warisan mahabbah, warisan kasih sayang, warisan qudwah, warisan taat, warisan tajarrud (totalitas), warisan ukhuwah yang harus kita tumbuh kembangkan. Inilah warisan yang terbesar dari orang yang paling kaya di antara kita. Saya pun sejak tadi malam dan hari ini ketika 25 tahun ditakdirkan menyambut beliau bergabung dalam gerakan dakwah ini, hari ini pun ditakdirkan oleh Allah untuk mengantarkan beliau meninggalkan beban dakwah, tugas dakwah, tugas perjuangan yang besar ini. Mudah-mudahan kita, bisa istiqomah seperti yang beliau contohkan.

Beliau walaupun secara dakwah kelihatannya adalah murid saya, tapi sebenarnya dia juga guru saya. Dia ustadzi fi qudwatihi, ustadzi fi shabrihi, ustadzi fi mahabbatihi (Dia mengajari saya dengan keteladanan, dengan kesabaran, dengan ketulusan, dengan keistiqomahan dan keikhlasan) yang selalu menyirami hati-hati semuanya. Sekali lagi saya ingatkan, beliau orang terkaya diantara kita, kaya dengan aqidahnya, kaya dengan akhlaknya, kaya dengan ibadahnya, kaya dengan spiritualnya, kaya dengan ruhaniyahnya, kaya dengan moralnya. Begitu juga beliau kaya dengan fikrohnya, kaya idealismenya, kaya ideologinya, kaya wawasan berfikirnya dan kaya dengan daya juangnya serta kaya dengan pengorbanannya.
Kekayaan yang beliau tinggalkan inilah yang harus kita tumbuh kembangkan sebagai amanat dari beliau. Mudah-mudahan kita sebagai penerus yang baik seperti beliau ini.

Sebagai kesaksian terakhir, bahwa beliau dengan mengorbankan seluruh kepentingan dirinya, keluarganya, dunianya, seluruhnya dihibahkan untuk dakwah. Dan sudah tentu beliau adalah salah satu tonggak sejarah dalam penegakan da’wah ilallah menuju li i’la’i kalimatillah hiyal ‘ulya di Indonesia insya Allah.***
(disampaikan Ust. H. Hilmi Aminuddin, saat pemakaman jenazah Ustadz Rahmat Abdullah)

Rahmat Abdullah, Simbol Spiritualisme Dakwah Kita

oleh : Anis Matta, Lc.

Suatu hari, lebih dari 15 tahun lalu, lelaki itu datang dengan tenang. Jaket tentara rada lusuh yang ia kenakan membuatnya tampak gagah dan berwibawa. Tapi kelembutan tetap memancar kuat dari sorot matanya. Disana ada cinta. Disana ada cinta. Memanggil-manggil. Seperti sinar purnama yang memancar kuat menembus awan malam. Itulah pertama kali saya melihat guru saya, KH.Rahmat Abdullah, ketika beliau mengisi salah satu materi dalam sebuah dauroh di Puncak.

Saya masih mahasiswa saat itu. Pertemuan pertama itu menguatkan kesan yang telah terbentuk sebelumnya dalam benak saya tentang wajah seorang dai, seorang murobbi, seorang mujahid. Setidaknya pada biografi tokoh-tokoh pejuang Ikhwan di Mesir, atau Jamaat Islami di Pakistan, atau Masyumi di Indonesia. Ketika beliau berbicara lebih dalam mengenai fiqh dakwah, saya segera menyadari bahwa kedua kaki saya telah melangkah jauh kedalam kafilah dakwah yang selama ini hanya saya rasakan dalam bacaan. Walaupun sama-sama berada dalam kafilah dakwah ini, tapi bertahun-tahun kemudian saya belum pernah bertemu dengan beliau dalam satu tim kerja. Sampai akhirnya perjalanan dakwah ini menemukan hajat besar untuk membentuk partai politik. Berdirilah Partai Keadilan pada tahun 1998. Sejak itu hingga beliau wafat pada Selasa 14 Juni 2005 lalu, saya bertemu secara intensif dengan beliau di Lembaga Tinggi Partai.

Di antara pelajaran hidup yang saya peroleh dalam perjalanan dakwah ini adalah fakta bahwa wazan atau timbangan seseorang dalam hati kita, atau dalam komunitas kita, biasanya baru menjadi nyata dan jelas setelah orang itu pergi. Mungkin ini salah satu hikmah mengapa Islam melarang kita menyanjung orang hidup: karena kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupannya akan berujung. Setelah seseorang pergi, kita segera tahu "ruang kosong" apa yang ditinggalkan orang itu dalam hati kita, atau dalam komunitas kita. Kesadaran kita tentang ruang kosong itu tidak akan pernah begitu jelas selama orang itu masih hidup dan berada di antara kita, sejelas ketika orang itu akhirnya pergi. Ruang kosong yang dirasakan setiap orang pada seseorang tentu saja berbeda-beda. Tapi jika orang-orang itu berada dalam komunitas yang sama, maka ruang kosong yang kita rasakan secara kolektif biasanya selalu sama.

Kalau kita menelusuri ruang kosong yang ditinggalkan seorang tokoh, lalu kita mencoba menemukan "kunci kepribadian" tokoh itu, biasanya kita akan menemukan takdir sejarahnya secara lebih akurat. Kunci kepribadian adalah alat kecil yang membuka pintu bagi kita untuk menemukan penjelasan tentang makna dan korelasi dari setiap tindakan seseorang. Itu dua kata kunci: ruang kosong dan kunci kepribadian, yang mengantar kita untuk menemukan tempat dimana seorang tokoh bersemayam dalam sejarah. Jika belajar sejarah lebih dalam, kita akan menemukan satu fakta bahwa tokoh-tokoh memberikan porsi yang sangat besar dalam menjelaskan berbagai peristiwa besar dalam sejarah. Walaupun bukan merupakan seluruhnya, tapi Hasan Al Banna adalah penjelasan besar tentang fenomena Ikhwanul Muslimin di Mesir. Begitu juga Al Maududi adalah penjelasan besar tentang Jemaat Islami di Pakistan. Seperti juga Cokroaminoto, Soekarno, Agus Salim, Natsir, Tan Malaka, Aidit adalah penjelasan besar tentang Indonesia pada paruh pertama abad 20.

Tidak sulit bagi mereka yang pernah berinteraksi lama dengan Rahmat Abdullah untuk menyimpulkan bahwa beliau adalah simbol spiritualisme PKS. Spiritualisme adalah kata kunci menjelaskan dan merangkum sifat-sifat utama beliau: ikhlas, zuhud, wara’, tawadhu’, shidiq dan cinta. Tampak luar dari semua sifat itu adalah kelembutan. Dan itulah yang kita rasakan dalam setiap interaksi dengan beliau: selalu ada canda, selalu ada kehangatan, selalu ada kegembiraan, selalu ada cinta. Tapi semua terengkuh dalam nuansa spiritual yang kental. Jiwanya seperti ruang besar yang dapat menampung semua karakter. Karena itu anak-anak muda dengan berbagai karakter merasakan ketenangan batin saat bersama beliau: semacam limpahan kasih sayang yang tak pernah habis. Dalam halaqahnya berkumpul para intelektual, pengusaha, aktivis sosial dan lainnya. Dan yang unik, seorang murid beliau yang memiliki latar belakang kehidupan anak-anak tentara yang keras dan kasar mengatakan bahwa hanya karena kelembutan beliau saya bisa bergabung dengan dakwah ini. Mungkin itu sebabnya para kader lantas menjuluki beliau sebagai Syekh Tarbiyah.

Kita juga merasakan sentuhan spiritualitas yang kuat itu ketika beliau membacakan doa dalam demonstrasi-demonstrasi mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestina, Irak, Afghanistan dan lainnya. Isi doa-doa beliau merefleksikan hati penuh makrifat pada Allah swt. Makrifat itulah yang menyentuh dan menundukkan hati kita pada Allah swt: tiba-tiba saja hiruk pikuk demo berubah menjadi majlis zikir yang khusyuk, dan teriakan-teriakan perlawanan berubah jadi tangis jiwa yang pilu bertawakkal.

Ketika sifat-sifat utama dibawa kedalam kerja-kerja dakwah yang bersifat struktural dalam kerangka amal jama’i, beliau selalu bisa bekerjasama dengan semua orang. Sifat-sifat utama itu mungkin tidak selalu kompatibel dengan jabatan-jabatan struktural yang memerlukan keterampilan manajerial dan tehnis. Tapi sifat-sifat itu efektif menyatukan orang-orang dengan potensi tehnis. Karena itu, mungkin prestasi terbaik beliau adalah ketika beliau menduduki posisi sebagai ketua bidang kaderisasi di DPP sebelum akhirnya menduduki posisi sebagai ketua MPP. Disana anak-anak muda dengan kemampuan tehnis dan manajerial yang bagus menjadi sebuah tim kaderisasi yang kompak dibawah bimbingan seorang syekh yang mengayomi dengan lembut, dan berhasil mentransformasi kerja-kerja tarbiyah kedalam kerangka institusi dengan landasan sistem yang kokoh. Warisan inilah yang merupakan salah satu penjelasan tentang lompatan besar dalam sistem dan kemampuan kerja tim kaderisasi PKS.

Rahmat Abdullah telah pergi merengkuh takdir sejarahnya justru ketika dakwah ini sedang memasuki babak baru dengan tantangan-tantangan baru. Menghabiskan seluruh usia produktifnya dalam perjuangan dakwah, Rahmat Abdullah telah meninggalkan ruang kosong yang besar: simbol spiritualisme dakwah kita yang selalu menghadirkan cinta dalam semua kerja dakwah. Para pencinta adalah pemilik ruh yang lembut. Rahmat Abdullah adalah ruh yang lembut: lembut seluruh hidupnya, lembut cara perginya.****

Rabu, 10 Maret 2010

Hidup Sederhana

Nafsu manusia kadang seperti air. Tak pernah henti untuk selalu mengalir. Selama masih ada celah, di situlah air mengalir. Bedanya dengan air yang mengalir ke tempat lebih rendah, nafsu terus mengalir ke arah sebaliknya.

Manusia bisa dibilang makhluk yang jarang cepat puas. Selalu saja ujung dari sebuah pencarian lagi-lagi bertemu pada satu titik: kurang. Keadaan itu persis seperti orang yang selalu mendongak ke atas. Dan lengah menatap ke bawah.
Itulah kenapa orang tanpa sadar kehilangan daya peka. Kepekaannya dengan lingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan mungkin, di tengah hiruk pikuknya mengejar yang atas, tanpa terasa kalau yang di bawah terinjak-injak. Jadi, pisau kepekaan bukan sekadar tumpul, bahkan berkarat sama sekali.


Orang menjadi tidak mampu menyelami apa yang terjadi di sekelilingnya. Sulit merasakan kalau di saat kita terlelap dalam keadaan kenyang, sejumlah tetangga terus terjaga karena menahan perut yang lapar. Sulit menangkap keinginan anak-anak tetangga untuk tetap bersekolah, ketika sebagian kita tengah sibuk mencari sekolah top buat anak-anak, berapa pun mahalnya.
Ketidakpekaan itu akhirnya menggiring diri untuk tampil tak peduli. Kesederhanaan menjadi barang langka. Ada semangat tampil serba wah. Ada bahasa yang sedang diungkapkan, “Saya memang beda dengan kalian!”

Ketika terjadi proses melengkapi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan mungkin hal-hal lain seperti alat komunikasi; ada pergeseran yang nyaris tanpa terasa. Sebuah pergerseran dari nilai fungsi kepada nilai gengsi.

Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok itu tidak lagi menimbang sekadar fungsi, tapi lebih kepada gengsi. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu: trend dan gengsi. Biasanya, nilai gengsi jauh lebih mahal dari nilai fungsi. Bahkan, bisa berkali-kali lipat.
Di sisi lain, ada semacam ketergantungan dengan penampilan mode yang tentu saja datang dari negeri pedagang budaya. Mereka begitu pintar mengemas barang dagangan dalam bentuk yang sangat menarik. Halus, tanpa kesan menggurui. Kemasan bisa melalui film, berita mode dan sebagainya. Tanpa sadar, orang sedang terhipnotis dalam cengkeraman para pedagang budaya. Repotnya, ketika pedagang budaya sebagian besar menuhankan hidup materialistis. Semua tanpa sadar menuhankan gengsi.

Mungkinkah perilaku konsumsi seperti itu hinggap dalam diri umat Islam? Masalahnya memang bukan sekadar muslim atau bukan. Tapi sejauhmana umat Islam memahami nilai budaya Islam. Dan membumikannya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Mereka yang tidak paham dengan Islam biasanya memang tidak peduli dengan urusan orang lain. Walaupun itu satu keyakinan. Tidak ada ajaran yang menyentuh hati mereka untuk mau memperhatikan nasib saudaranya. Hidup bagi mereka adalah diri mereka sendiri. Tidak ada hubungannya dengan orang lain.

Sementara Islam, sangat menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Bahkan nilainya bisa sama dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim)

Selain tumpulnya kepekaan dan kungkungan trend budaya orang lain, ada sebab lain yang membuat orang jauh dari sederhana. Itulah imperiority, atau merasa rendah di hadapan orang lain. Rasa rendah diri itu memompa segala daya yang dimiliki untuk tampil melebihi orang yang dianggap lebih. Paling tidak, ada kepuasan diri jika tampilan bisa dianggap lebih.
Penyakit seperti itu biasa hinggap di negeri-negeri jajahan. Mereka biasa hidup susah. Sementara para penjajah hidup mewah. Ketika kesempatan hidup mewah terbuka lebar, sifat rendah diri berubah menjadi jiwa eksploitasi. Apa pun yang bisa diraih, diambil sebanyak-banyaknya demi kepuasan tampil lebih.

Hal itulah yang diwaspadai Khalifah Umar bin Khaththab ketika mencermati para gubernurnya. Ia khawatir, di saat kesempatan terbuka lebar, para gubernur hilang kesadaran. Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.

Seorang gubernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.

Teladan lain pernah diperlihatkan sahabat Rasul yang bernama Mush’ab bin Umair. Pemuda kaya ini tiba-tiba berubah drastis ketika memeluk Islam. Ia yang dulu selalu tampil trendi, serba mewah, menjadi pemuda sederhana yang hampir seratus persen berbeda dengan sebelumnya. Bahkan Mush’ab rela meninggalkan segala kekayaannya demi menunaikan dakwah di Madinah.
Ada yang menarik dari seorang mantan duta besar Jerman untuk Al-Jazair. Beliau bernama Wilfred Hoffman. Setiapkali mengunjungi pesta kalangan diplomat atau pejabat negara, isterinya selalu menjadi pusat perhatian.

Pasalnya, di acara-acara bergengsi seperti itu, isterinya tidak pernah mengenakan busana dan perhiasan mewah. Sebuah kenyataan di luar kelaziman buat kalangan petinggi negara seperti Jerman. Bagaimana mungkin seorang duta besar negara kaya bisa tampil ala kadarnya. Padahal, para pejabat dari negara miskin saja bisa tampil gemerlap. Ada apa?

Ternyata, Hoffman dan isterinya memang sengaja seperti itu. Ia lebih memilih hidup sederhana, ketimbang tampil mewah. Justru, dengan tampilan seperti itulah, Hoffman dan isterinya lebih dianggap daripada dubes dan pejabat lain yang hadir.

Meraih segala kemampuan materi memang sulit. Tapi lebih sulit lagi mengendalikannya menjadi tampilan sederhana. Karena nafsu memang tidak pernah berhenti mengalir ke segala arah.

Penyimpangan Aliran Syi’ah “Imamiyah Al-Itsna-’Asyariyyah”

Aliran Syi’ah “Imamiyah Al-Itsa-’Asyariyyah” membawa beberapa penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut jelas disebutkan dalam referensi-referensi yang mereka miliki. Dalam artikel ini akan disebutkan beberapa penyimpangan aliran Syi’ah “Imamiyah Al-Itsna-’Asyariyyah” (inhirafu manhaj “Imamiyyah Itsna Asyariyyah”) berdasarkan referensi mereka sendiri.

Minggu, 07 Maret 2010

"Cinta Rahmat Abdullah"

Oleh : Ir. Tifatul Sembiring

Selasa sore itu Ustadz Rahmat tersenyum penuh makna. Segar dan cerah terlukis jelas pada wajah beliau. Tidak ada keluh kesah. Tidak ada kesan lelah, tidak ada tanda-tanda maupun isyarat. Sesuai janji, beliau datang tepat waktu. Untuk berbincang bersama dalam majelis kita. Membincang tentang kebun¬-kebun kita –yang kerap kali menjadi istilah beliau dalam perumpamaan medan dak¬wah.

Jadi akh Tif, kata beliau suatu waktu, berdakwah itu mirip dengan pekerjaan seorang petani. Biji yang ditanam tidak cukup hanya dibenamkan ketanah lalu ditinggalkan. Kemudian kita berharap akan kembali pada suatu hari untuk memetik hasilnya. Mustahil itu! Mustahil itu, kata beliau. Tanaman itu harus disiram setiap hari, dijaga, dipelihara, dipagari, bahkan kalau tunas-tunasnya mulai tumbuh, kita harus menungguinya, sebab burung-burung juga berminat pada pucuk¬-pucuk segar itu.

Jadi para. mad'u (pengikut dakwah) kita harus di-ri'ayah (dirawat), ditumbuhkan, diarahkan, dinasehati sampai dia benar¬benar matang. Dijaga alur pembinaannya, ditanamkan motivasi-motivasi, dibangun keikhlasan mereka, didengarkan pendapat-¬pendapatnya, bahkan kita perlu sesekali bepergian dengannya. Agar kita me¬mahami betul watak kader dakwah kita sebenarnya.

Bagi orang yang cukup dekat, Ustadz Rahmat Abdullah memang punya bahasa dan perumpamaan-perumpamaan yang khas. Dalam berbahasa, kadang beliau memberi instruksi namun tidak tekesan memerintah. Kalau beliau menasehati tanpa menyinggung perasaan, dan kalau mengajar tanpa terkesan menggurui.

Beliau pernah menguraikan bagaimana mulianya peran seorang da'i (juru dakwah) dalam sebuah perumpamaan. Jadi, lanjut beliau, coba kita bayangkan sebuah pemandangan yang terdiri dari pegu¬nungan, sawah, kubangan kerbau. disana ada sungai yang mengalir serta sebatang pohon yang tumbuh dipinggirnya.

Lalu ada 4 makhluk lain yang melihat pemandangan yang sama, yaitu seekor kerbau, anak kecil, petani dan insinyur pertanian.

Sang kerbau tentu akan senang main dikubangan, berguling-guling dengan lumpur yang basah, setelah pugs kerbau akan terjun berenang di sungai. Sampai ditarik oleh pemiliknya untuk kembali ke kandang. Itulah naluri binatang, dia berbuat berdasarkan instingnya, karma memang tidak dibekali akal oleh Allah swt.

Lain lagi dengan seorang anak kecil. Ketika melihat ada pohon didekat sungai, dia panjat lalu dari dahan yang menjulur kearah sungai itu dia terjun ke air, bere¬nang-renang sejenak terus merapat ke pinggir.

Lalu memanjat pohon kembali, lantas terjun pula kembali, sampai ia bosan dan lelah. Anak-anak lebih berbuat dan me¬mandang sesuatu sebagai sarana bermain. Mereka terkadang tidak terlalu serius memikirkan hasil tanaman, cuaca, kapan panen dst.

Kalau pak Tani sudah lebih maju. Sudah mulai memikirkan sepetak sawahnya, mulai menghitung berapa kebutuhan makan keluarganya selama setahun. Bagaimana memupuk padi supaya hasilnya menjadi berlipat ganda. Yang penting keluarganya bisa makan dan kalau ada lebihnya tentu untuk membeli lank pauk serta kebutuhan-kebutuhan sekunder lainnnya.

Namun yang lebih besar manfaatnya, lanjut beliau, adalah seorang insinyur pertanian. Dia tidak saja berpikir tentang sepetak sawah, dia justru berpikir lebih lugs. Memikirkan seluruh petani didaerah itu, memberikan penyuluhan. Bagaimana supaya hasil panen berlipat ganda. Ba-gaimana membaca peta daerah pertanian, tanaman apa yang cocok bagi daerah setempat, dan lain-lain.

Nah, akh Tif kata beliau, dai itu man¬faatnya bagaikan seorang insinyur per¬tanian itu. Dia tidak saja bermanfaat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, namun juga sangat berfaedah bagi keluarga¬keluarga petani dan masyarakat yang lain.

Dengan cara yang khas itu, beliau telah memotivasi puluh ribu dai, murid-murid beliau, maupun di tempat-tempat dimana beliau pernah berceramah atau mengisi seminar. Kemampuan beliau ini, bahkan sanggup memotivasi kader dakwah dari beragam profesi sehingga menjadi dai-dai yang handal dan tangguh.

Beliau tidak saja berkiprah di dalam negeri, namun sudah pernah merambah ke manca negara. Sehingga hujan tangis serta pesan-pesan singkatpun mengalir dari berbagai belahan dunia ketika mendengar khabar kewafatan beliau. Para mahasiswa yang pernah mendengar ceramah beliau, para diplomat, seniman, semua profesi sangatlah merasa kehilangan.

Apalagi jama'ah majelis Ahad pagi masjid Iqro' Pondok Gede, yang berlokasi tepat disamping rumah beliau. Dimana setiap pekan beliau mengisi pengajian dengan bahasan kitab Manhajul Islam yang ditulis oleh Abu Bakar Jabir Al¬-Jazaairi itu. Pendengarnya bukan saja dari kalangan warga setempat, namun juga berdatangan dari berbagai daerah lain. Ceramah beliau di televisi dan radio juga memiliki pendengar-pendengar yang setia.

Bagi saya pribadi beliau adalah guru cinta. Beliau tidak saja berteori dengan cinta, namun dalam kesehariannya me¬mang kata-kata beliau sangat lembut dan penuh kecintaan. Beliau kerap mengutip sya'ir-syair yang menyentuh hati. Kalimat¬kalimat yang diuntai mengalir begitu saja namun penuh makna yang dalam. Suatu saat beliau bacakan kutipan, bahwa AI¬Busyiri pernah berkata " wal hubbu ya'taridhu alladzaatu bil –alam" (dan cinta dapat menghilangkan segala rasa sakit).

Sehingga wafatnya beliau yang sangat tiba-tiba, kita semua merasa tersentak dan terhenyak. Prosesnya sangat halus dan lembut. Pada saat break rapat untuk menunaikan shalat maghrib, disaat ber¬wudhu' beliau merasa linglung. Kami dudukkan di sofa ruang tamu, beliaupun berbisik "seperti gempa". Beberapa orang mencoba memijit kepala beliau yang dari tadi terns dipegang dengan kedua ta¬ngannya. Setelah diberi minuet air putih hangat beliaupun bersandar dan berulang¬ulang mengucapkan kalimah "Laailaah ilia anta". Lalu beliau mendengkur dan pingsan. Segera saja kami larikan ke klinik terdekat. Ketika dibawa ke rumah sakit yang lebih besar, ditengah perjalanan, beliaupun dipanggil oleh Pemiliknya. Ternyata Allah lebih mencintai beliau, dan segera –insya Allah – memberikan gan¬jaran yang balk dan berlipat ganda bagi beliau. Kita kehilangan guru cinta, guru kelembutan dan guru kasih sayang yang entah kapan lagi bisa mendapatkan ustadz sekaliber beliau. Terakhir saya ingin ungkapkan bahwa, "Kita tidak berpisah ya ustadzuna, kita hanya sedang mem¬persiapkan pertemuan yang kekal". Insya Allah.

Kamis, 04 Maret 2010

Hubungan Antara Senior dan Junior

Dalam dua ayat 5 dan 6 surat al-Insyiroh, Allah subhanahu wa ta’ala menyebut kata al-‘usr (kesulitan) dua kali, dan dua-duanya dalam bentuk ma’rifat (menggunakan hamzah dan laam). Juga menyebut kata yusran (kemudahan) dua kali pula, dan kedua-duanya dalam bentuk nakirah (tidak menggunakan hamzah dan laam).

Para ulama tafsir mengatakan, hakikat al-‘usr dalam dua ayat itu adalah satu, sedangkan hakikat yusran adalah dua, sehingga ada riwayat menyatakan, “Betapapun ada kesulitan yang menimpa seseorang, niscaya setelah itu Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan jalan keluar dan kemudahan darinya. Sebab, sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” (Imam Al-Hakim berkata, riwayat ini adalah riwayat yang shahih dari perkataan Umar bin Al Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma).

Jalan Taubat Sang Rocker

“Cinta yang tulus di dalam hatiku,
Telah bersemi karena-Mu
Hati yang suram
kini tiada lagi
Tlah bersinar karena-Mu
Semua yang ada pada-Mu
Membuat diriku
tiada berdaya
Hanyalah bagi-Mu
Hanyalah untuk-Mu
Seluruh hidup
dan cintaku…”

Masih terngiang lirik lagu Cinta Yang Tulus yang dinyanyikan Bangun Sugito alias Gito Rollies, yang popular di tahun 80an. Lagu yang pernah dipopularkan The Rollies itu memang liriknya terkesan religius. Namun kesan itu menjadi paradoks ketika tahu sisi gelap dari kehidupan si pelantun tembang tersebut. Penampilan Gito kala itu urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel menghiasi kejayaan The Rollies Band di era 1980-an. Bahkan lagu-lagu cadas meluncur dari suara seraknya. Segudang kedugalannya kerap dikupas dan menjadi langganan infotainment.

Sudah menjadi rahasia umum bila dunia selebritis di mana pun berada selalu dekat dan akrab dengan dunia gemerlap (dugem) yang kerap diselingi berbagai macam kesenangan sesaat seperti narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya. Tak terkecuali pria kelahiran Biak, 1 November 1947 ini.

“Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan narkoba,” Ungkap Gito dengan nada sesal.

Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.

Bahagiakah hidup seperti itu? Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai. Pada akhirnya semuanya hanya menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah.

Klimaks terjadi kala ia merayakan ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya.
Dalam kerisauan panjang, beriring desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi tempat menumpahkan penat, mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu mulai mekar membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab segala kerisauan.

Saat itu hari Jumat siang. Pria dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada beberapa warga desa yang ramai menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun kembali mengusik hati.

“Mereka dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan?!” Pertanyaan itu selalu mengusik Gito.

Sungguh pemandangan indah di hari Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan hatinya bagi pintu tobat.

Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan kegelisahannya selama ini.

“Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,”

“Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut seakan haus jawaban.

“Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini urakan, permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.
“Selama hidupku, baru kali ini aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai memasuki dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya berdiri dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”

Ketika mentari terbit, Gito langsung mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di sana, ia mengutarakan niatnya untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu. Sejak saat itu, Gito resmi meninggalkan dunia kelam.
Satu yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle, yang tak pantang habis.

“Saat aku sudah belajar agama, aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri, begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.

Tobatnya Gito juga disyukuri oleh sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan yang dialami Gito.

“Kata beliau, aku jadi lebih kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi menantu favoritnya lho,” tuturnya sambil terkekeh.

“Mengapa Allah memberikan hidayah kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh dosa ini?”

Gito mengaku harus merenung lama untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan haji, jawaban itu baru mampir di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah menciptakanku untuk menjadi manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan kebahagiaan sepenuhnya buatku.”

“Mick Jagger itu dulu menjadi idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara.”

Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini memilih ke pintu pertobatan. Penampilan Gito tak lagi urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula pelantun lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan.

“Aku sudah mendapatkan banyak hal di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam hidupnya.

Artis kelahiran Biak, Papua, 1 November 1947 dengan nama bangun Sugito ini awalnya dikenal sebagai rocker. Dalam perjalanan karirnya, ia juga dikenal sebagai aktor dan terakhir dalam kondisi sakit ia menjadi penceramah agama.

Nama Gito terlihat diambil dari nama aslinya, sementara nama Rollies diambil dari nama grup band asal Bandung, The Rollies yang pernah terkenal pada dekade 1960-an hingga 1980-an. Grup ini terdiri dari vokalis Gito, Uce F Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, Teungku Zulian Iskandar.

Setelah bersolo karir, dia menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987), Air Api (1987) dan Tragedi Buah Apel (1987) dan Goyah (1987).

Sebagai aktor Gito memulai debutnya di dunia film lewat Buah Bibir (1973) sebagai figuran. Setelah benar-benar menjadi aktor ia bermain dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam (1979) dan Sepasang Merpati (1979), dan Permainan Bulan Desember (1980), dan Kereta Api Terkahir (…). Namun kekuatan aktingnya terlihat pada Janji Joni yang mengantarkannya meraih piala Citra untuk kategori Aktor Pembatu Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2005.

Kang Gito, begitu sapaan akrabnya, memang bukan lagi Gito Rollies yang lama. Sejak 10 tahun belakangan, hidupnya berubah 180 derajat. Kini, ia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, mantan personel band The Rollies ini tak segan-segan menyerukan semua orang untuk meninggalkan kehidupan yang dipenuhi alkohol dan obat-obatan terlarang.

“Dalam hidup ini -apa pun agamanya- adalah paling baik mengikuti ajaran agama.
Karena inilah yang akan membentengi kita -terutama anak-anak- dalam menjalani cobaan hidup,” lanjut ayah tiga anak dari perkawinan dengan Michelle: Puja, Bayu dan Bintang.

Toh, meski sudah berada di jalan Allah, Gito tak pernah merasa dirinya yang paling benar. Ia selalu menolak jika disebut kyai, atau diminta untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang masih terus belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah upayanya berbagi cerita.

Bahkan, Gito masih merasa belum cukup bertobat hingga akhir hayatnya. Tak pernah sekalipun ia merasa dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam suatu pengajian ia sempat bertanya kepada ustadz yang berceramah, apakah dosa-dosanya di masa lalu bisa berkurang dengan perbuatannya saat ini.

“Tak hanya berkurang, namun dosa Kang Gito bahkan sudah dianggap lunas. Kang Gito jangan berpikir perbuatan baik saat ini untuk bayar dosa yang lalu. Sekarang Kang Gito tengah menabung untuk masa depan,” jawab sang ustadz, yang disambut Gito dengan wajah sumringah.

Sejak 1990-an nama Gito hilang dari peredaran setelah dia menarik diri dari dunia panggung musik rock maupun film. Khalayak pun tidak lagi menyaksikan aksi-aksi penyanyi bersuara serak dengan gaya panggungnya yang atraktif. Beberapa tahun kemudian Gito muncul menjadi seorang dai, yang kerap tampil dengan pakaian putih-putih.

Sejak 2005 Gito harus terbaring lemah. Ia tak berdaya melawan kanker kelenjar getah bening yang dideritanya. Namun kemudian ia justru terlihat banyak melakukan kegiatan dakwah. Bahkan sebelum meninggal Gito masih sempat berdakwah di Padang, Sumatera Barat selama 11 hari.

Tahun-tahun belakangan memang terasa berat buat Michelle Sugito wanita asal Kanada yang telah mendampingi hidupnya selama ini. Ia harus mendampingi suaminya menjalani terapi pengobatan kanker kelanjar getah bening yang dirasakan penyanyi rock ini, dua tahun terakhir.

Sosok Bangun Sugito yang atletis dan enerjik di panggung sudah menjadi bagian masa lalu. Untuk berjalan pun kini ia harus dibantu atau minimal menggunakan tongkat. Kadang ia memang menolak untuk dibantu. “Maunya sih tidak dibantu. Tetapi karena aku selalu bicara bahwa manusia harus saling membantu, ya aku juga harus mau dibantu orang lain,” kata Gito.

Karena itulah ia juga tidak menolak ketika diminta ikut dalam acara penggalangan dana buat korban gempa bumi Yogyakarta yang digagas orang tua murid tempat isterinya bertugas. Gito menganggap saat ini sudah saatnya ia bernyanyi untuk berdakwah, sesuatu yang ia harapkan ada manfaatnya buat para pendengarnya.
Sebab itu pulalah ia lebih memilih menyanyikan lagu-lagu bernuansa religius ketimbang lagu-lagu nunasa masa lalu seperti,“Astuti…Tuti..Tuti…”

Bersamaan dengan sumbangan yang mengalir dari undangan, air mata Michelle Sugito makin deras mengalir.

Ya, Gito Rollies memang pribadi yang penuh kenangan. Kehidupannya tersimpul dalam satu kalimat ‘Mantan lalim, yang jadi orang alim’. Masa mudanya memang sangat dekat dengan miras, narkoba dan hura-hura. Selama kurang lebih 23 tahun tidak menyurutkan niat rocker gaek bernama lengkap Bangun Sugito ini untuk tobat dan mendalami agama.

Dialah satu-satunya Rocker yang meninggal dengan tenang, indah dan tersenyum. Happy Ending. Seandainya Sid Vicious meninggal dengan tenang di St Paul’s Cathedral, Kurt Cobain dan Jimmy Hendrix meninggal mesra di St James Cathedral maka sepertinya tidak akan ada stigma: Rocker mati konyol dengan mulut berbusa atau berlumuran darah karena bertingkah bodoh akibat pengaruh narkoba. Dan mitos “Rocker Legend mati muda” pun sudah mulai usang karena Legend kita yang satu ini tutup usia di umur 61 tahun.

Gito menigggalkan seorang isteri bernama Michelle dan lima anak, yakni Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu Wirokarma, dan Puja Antar Bangsa.
Sebaik-baik usia tiap orang adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya menjadi misteri, karena seringkali di sanalah Allah memberikan kesudahan yang indah dari perjalanan taubat hamba-Nya.
Ila Robbika Muntahaha. Innama Anta Mundziru Man Yaghsyaha