Jumat, 19 Juni 2009

Positiveness dan Akibat Melubangi Kapal

Mukadimah
Positiveness perseorangan merupakan sesuatu yang terpuji jika dituangkan dalam positiveness jamaah. Kharizma perseorangan merupakan tuntutan jika memberi sumbangan dalam membangun kharizma organisasi. Dalam rangka mempersonifikasi nilai-nilai ini, Rasulullah SAW menyuguhkan perumpamaan indah kepada kita yang menggambarkan adanya tanazu’ (tarik menarik, kontradiksi) antara positiveness perseorangan dan positiveness jamaah. Beliau juga menyuguhkan ‘ilaj nabawi yang mujarab yang meleburkan egoisme perseorangan ke dalam kemanfaatan organisasional, yang bertolak dari munthalaq tarbawi yang memberikan hak pribadi secara sempurna dan tanpa dikurangi, namun sekaligus menggebuk tangan pribadi itu dengan kuat jika thumuhat (obsesi)-nya menjadi besar yang berakibat melampaui legalitas jamaah dan hak jamaah dalam merealisasikan hasil-hasil umumnya.


Empat Peringatan:
Tidak ada seorang pun hidup di alam ini sendirian, walaupun ia dipenjara seorang diri di dalam sebuah sel gelap. Setiap individu hendaklah memahami bahwa Allah SWT menciptakan manusia agar saling ta’aruf (mengenal), ta’awun (bantu membantu), tadhamun (solider) dan sebagian mereka memberikan khidmah (pelayanan) kepada yang lain.
Sebagian manusia terhadap yang lainnya
Baik Arab maupun non Arab
Saling memberikan khidmah
Walaupun tidak mereka rasa
(Sebagaimana pernyataan seorang penyair)

Hanya saja, sebagian individu mempunyai ego berlebih, mereka selalu merasa –menurut diri mereka sendiri- yang terbaik, paling afdhal, paling pinter, dan paling berhak –dibanding yang ada- untuk menjadi qiyadah, pelopor, memberi kesaksian, dan memimpin, termasuk kalau saja kapasitas mereka belum sampai pada level berbagai tanggung jawab ini, bahasa hal-nya selalu mengatakan –di mana pun- pernyataan yang pernah dilontarkan oleh professor filsafat egoisme, yaitu Iblis saat mengira bahwa unsur api lebih baik daripada unsur tanah, maka ia berkata, “aku lebih baik dari padanya (Adam AS), Engkau ciptakan aku dari api, sementara Engkau ciptakan dia (Adam AS) dari tanah”. [Al-A'raf: 12], [Shad: 76].

Termasuk walaupun ia tidak memaksudkan khairiyah (sisi unggul kebaikan)-nya dalam arti unsur, sebab ia meyakini dalam dirinya al-khairiyah al-hadhariyyah (sisi kebaikan peradaban) yang memberinya kelayakan untuk memunculkan berbagai cara kreatif dalam menyelesaikan berbagai problem dan melewati berbagai aqabat (rintangan) sebagaimana yang “diusulkan” oleh salah seorang penumpang kapal yang digambarkan dalam hadits Nabi SAW, yaitu dari An-Nu’man bin Basyir RA dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Perumpamaan seseorang yang komitmen berada dalam batas-batas Allah dan yang terperosok ke dalamnya adalah semisal satu kaum yang mengundi pada sebuah kapal, maka sebagian mereka mendapatkan tempat di bagian atas kapal dan sebagiannya mendapatkan bagian di bagian bawah kapal. Orang-orang yang berada pada bagian bawah kapal, jika mengambil air mesti melewati orang-orang yang berada di bagian atas, lalu mereka berkata: ‘kalau saja kita membuat lubang pada jatah kita, sehingga kita tidak mengganggu yang di atas kita’, maka, jika mereka membiarkan maksud membuat lubang itu, niscaya seluruh penumpang kapal akan celaka, dan jika mereka memegang tangan yang bermaksud membuat lubang itu, niscaya mereka yang membuat lubang selamat dan selamat pula seluruh penumpang kapal”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika berbagai riwayat hadits ini kita himpun –dengan perbedaan redaksinya, namun tetap menegaskan satu makna- kita akan melihat satu “kanvas kenabian” yang indah yang memuat puluhan pelajaran tarbawi yang hari ini sangat kita perlukan, namun, saya hanya akan memberikan isyarat kepada empat pelajaran saja yang secara langsung mempunyai hubungan dengan tema ijabiyah, sementara pelajaran-pelajaran lain kita tinggalkan terlebih dahulu sampai datang momentumnya yang tepat pada kesempatan yang lain.

Pelajaran I: Anda Menjadi Penumpang Bersama Kami
Ya, semua kita adalah musafir, dan semua kita adalah penumpang sebuah kapal. Sangat tidak logis kalau kapal itu tidak memiliki nakhoda. Dan menjadi suatu bentuk kegilaan dan kepandiran jika nakhoda kapal itu lebih dari satu, “Jika di langit dan di bumi ada banyak Tuhan selain Allah, hancur binasalah langit dan bumi itu”. Dan sudah menjadi sunnatullah, musafir itu berbeda-beda kelasnya, kelas I, II, III dan kelas terakhir. Posisinya pun juga berbeda, ada yang di depan, belakang, sisi kanan, sisi kiri, tengah, di atas dan di bawah. Service dan fungsinya juga berbeda, ada nakhoda, pembantu nakhoda, penanggung jawab kenyamanan penumpang, distributor koran, makanan dan minuman, security, pengatur lalu lintas perjalanan di dalam kapal, … dst.
Ada juga penumpang yang memanfaatkan waktu luang perjalanan untuk “menjual” berbagai hadiah. Ada juga yang memanfaatkan keberadaan “beberapa tokoh terkenal” untuk berkenalan dengan mereka, tukar menukar kartu nama, nomor telepon, dan alamat tinggal. Ada juga yang sedang bernasib mujur, maka ia dapatkan seorang “tetangga” yang merupakan peluang seumur hidup, lalu ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dan seterusnya.

Yang penting, semua itu tadi adalah logis dan dapat diterima, dan semua itu merupakan tabiat sebuah perjalanan dan konsekuensi dari ta’aruf dan manfaat lain dari sebuah perjalanan.
Hanya saja ada sebagian penumpang yang memiliki ego berlebih yang melampaui semua hal yang wajar dan maqbul tadi, di mana ia melakukan berbagai percobaan untuk memaksakan “keinginannya” kepada semua penumpang, termasuk kepada kru kapal. Upaya-upaya kekanak-kanakan ini seringkali tampil dalam berbagai bentuk, namun, intinya sama, yaitu: mengganggu kenyamanan kehidupan orang-orang yang sedang bepergian. Di antara bentuk-bentuk ini ialah:

• Percobaan menyusup ke dalam kabin kendali untuk mengganggu nakhoda dan berusaha ikut terlibat dalam mengendalikan kapal, pertama dengan cara ngledek sang nakhoda sebagai pimpinan yang gagal …
• Berusaha menempati kursi yang bukan haknya, misalnya ingin menduduki kelas I. tujuannya adalah untuk menciptakan kekacauan dalam organisasi kapal. Juga untuk menanamkan kesan negatif terhadap kemampuan pengelola kapal dalam menunaikan hak kepada yang empunya .. dan juga dalam menempatkan penumpang sesuai dengan kelasnya ..
• Berusaha melubangi kapal untuk mengambil air dengan mudah dari bawah kakinya, agar ia tidak capek-capek naik turun untuk keperluan air ini …
• Mondar mandir secara mencolok di antara para penumpang, berjalan ke sana kemari, menimbulkan berbagai suara gaduh, mengarang berbagai cerita dan mengobral berbagai isu untuk menciptakan kekacauan di tengah-tengah penumpang, dan terkadang sampai ke tingkat menciptakan tasykik (keraguan) tentang keselamatan kapal, atau tasykik tentang kemampuan dan kecakapan sang nakhoda dan kru-nya, atau tasykik terhadap peta perjalanan, arah yang dituju, posisi dan tujuan .. yang intinya adalah mengesankan kepada para penumpang bahwa perjalanan yang ditempuh telah mengalami inhiraf (penyimpangan) dari jalur yang seharusnya ditempuh … dst.

Banyak upaya dilakukan, yang terpenting bagi kita adalah nash (teks) yang ada dalam hadits nabi yang menjadi kajian kita, yang intinya adalah bahwa pemilik gagasan “membuat lubang” lupa bahwa ada ribuan penumpang bersama dengannya dalam point yang disebutnya jatah-nya itu. Padahal, kursi yang Anda duduki bukanlah milik Anda secara utuh. Dan Anda tidak memiliki kebebasan mutlak yang bisa seenaknya menyelonjorkan kaki, sehingga mengganggu yang di belakang Anda, depan Anda, dan samping Anda, yang mana mereka juga memiliki “hak” atas lokasi yang telah disediakan untuk setiap penumpang.

Hadits nabi menyatakan, “Lalu mereka berkata: ‘kalau saja kita membuat lubang pada jatah kita…’. Pertanyaannya: adakah seorang penumpang bersama jamaah mempunyai jatah? Khusus dalam sebuah kendaraan perjalanan? Dan apakah seseorang yang tanggung jawabnya adalah menakhodai kapal, mencukupkan diri dengan sekedar memegang kendali kemudi, menginjak pedal gas dan ream? Adakah orang yang bertanggung jawab atas makanan dan minuman penumpang cukup membagikannya kepada kelas I saja? Adakah termasuk hikmah jika para penumpang mendiamkan saja sikap orang-orang yang ingin melubangi kapal, lubang pada titik yang diyakininya sebagai jatah-nya itu dengan alasan supaya tidak mengganggu penumpang yang di atasnya atau yang berada di sampingnya?
Jawaban atas berbagai pertanyaan ini datang dalam sebuah kalimat yang sangat mendalam dari sang murabbi pertama, yaitu Rasulullah SAW, saat beliau bersabda, “ maka, jika mereka memegang tangan yang bermaksud membuat lubang itu, niscaya mereka yang membuat lubang selamat dan selamat pula seluruh penumpang kapal”
Subhanallah!!

• Mereka telah menyelamatkannya, dengan cara memegang tangan yang bermaksud membuat lubang dan mencegahnya melakukan pelubangan. Dan dengan cara ini, mereka telah menyelamatkan diri mereka, dengan sebuah kerja ta’awun,
• Namun, jika mereka diam (membiarkan), mungkin karena takut, atau tamak, maka pembiaran ini akan mencelakakan sang pelaku pelubangan dan berdampak pula bagi kecelakaan yang lainnya, sebab mereka menumpang di kapal yang sama
Tidakkah sudah saya katakan: Kita ini menumpang satu kapal? Tidakkah telah aku katakan: Pukul tangan setiap orang yang bermaksud membuat lubang dalam kapal, maka, dengan memukul ini akan terwujudlah kemaslahatannya dan kemaslahatan semua penumpang?! Kemudian yang terakhir, tidakkah telah aku katakan kepada pemilik gagasan melubangi kapal: Bahwa kami menjadi penumpang bersamaku wahai saudaraku, dan engkau pun menjadi penumpang bersama kami wahai saudaraku!

Pelajaran II: Mas-ul Perjalanan Tidak Sama Dengan Penumpang
Ada perbedaan mencolok antara mas-ul perjalanan dengan penumpang.
Bagi penumpang, yang terpenting baginya adalah tiga hal asasi, sebab ia inilah haknya, sedangkan selebihnya bersifat tambahan

1. Yang terpenting baginya adalah mendapatkan kenyamanan dalam perjalanan, baik dari sisi rehat maupun service.
2. Yang terpenting baginya adalah semua haknya terpenuhi, dimulai dari hak atas tempat duduknya yang sah
3. Yang terpenting baginya adalah sampai ke tujuan dengan selamat dan membawa keberuntungan

Jika pengelola perjalanan berbaik hati memberikan tambahan service, lalu mereka memberikan berbagai hadiah, peta negara tujuan, bantuan money changer, alamat berbagai hotel dan tempat-tempat wisata dan budaya … dst, maka semua ini lebih baik dan menarik simpati pelanggan baru, dan bisa jadi hal ini menjadi model iklan yang membuat sang pengelola semakin populer dan menjadi pilihan penumpang untuk perjalanan selanjutnya, jika mereka terus menjaga kualitas pelayanan yang bagus ini.
Jika semua hal di atas adalah hak setiap penumpang, maka perlu diketahui bahwa penumpang juga memiliki kewajiban. Di antaranya: menghormati tata tertib dan aturan biro perjalanan dan cara kerjanya. Terlebih lagi adalah menghormati orang-orang yang mengorganisir perjalanan mereka dan juga kepada mereka yang memberikan pelayanan kepada seluruh penumpang. Juga kepada mereka yang bertanggung jawab atas kenyamanan dan keamanan perjalanan mereka … agar aspek keamanan dan kenyamanan dapat direalisasikan

Jika muncul dari para penumpang –walaupun dari kelas I- orang yang bermaksud merubah dirinya dari sekadar penumpang dan ingin menjadi pemilik kapal, atau ingin menjadi penanggung jawab perjalanan, sementara para pengelola kapal dan para penanggung jawab kapal dan penumpangnya diam … mendiamkan perilaku para penumpang yang bermaksud demikian tadi, niscaya akan terjadi kekacauan pada kapal, urusan menjadi bercampur baur tidak jelas, dan jadilah nasib setiap penumpang terancam tenggelam. “Dan jika mereka membiarkan orang yang bermaksud melubangi kapal itu, niscaya para penumpang kapal akan binasa, dan binasa pula mereka yang membuat lubang itu”.
Adapun kewajiban para penanggung jawab perjalanan, yaitu 3 hal tersebut di atas yang menjadi hak para penumpang, ditambah dengan dua kewajiban lainnya, sehingga totalnya menjadi lima kewajiban, yaitu:

1. Menciptakan suasana yang menyenangkan selama perjalanan, baik dari sisi rehat (kenyamanan) maupun service
2. Memberikan hak setiap penumpang, baik dari sisi tempat duduk, makanan, minuman dan istirahat.
3. Mengantarkan seluruh penumpang ke tempat tujuan.
4. Menegakkan kedisiplinan yang semestinya dan menciptakan iklim saling menghormati di antara sesama penumpang dan kru kapal
5. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengamankan perjalanan, baik dalam cara mengemudikan kapal serta interaksi yang baik terhadap semuanya.

Namun, lima kewajiban ini harus diimbangi dengan berbagai hak, yang dengan hak-hak ini akan terciptalah suasana perjalanan yang baik, serta memberikan jaminan keamanan dan keselamatan. Di antara hak terpenting dan paling mendesak bagi pihak kru kapal adalah hendaklah setiap penumpang komitmen dengan etika perjalanan, sebab, hampir semua serikat perjalanan di seluruh dunia melarang para penumpang untuk merokok sepanjang perjalanan, sebab hal ini mengganggu para penumpang. Dan beda jauh antara gangguan yang ditimbulkan oleh asap rokok dengan gangguan yang disebabkan oleh asap fitnah!

Pelajaran III: Masyarakat Islam itu Salimus-Shadr
Kita semua berada dalam satu kapal. Bagi kita, kapal itu “milik” bersama. Karenanya, kewajiban kita yang pertama adalah menjaga kapal ini dari khuruq (infiltrasi), syuquq (perpecahan), tsuqub (lubang-lubang) dan segala upaya irbak (kekacauan), za’za’ah (mengguncang ketsiqahan) dan tasykik (upaya untuk menanamkan keraguan). Hal ini diperlukan dalam rangka menjamin terwujudnya dua sasaran besar:
1. Mengamankan perjalanan dari segala ancaman, internal dan eksternal.
2. Menjaga kapal itu sendiri dari segala bentuk khuruq atau tsuqub

Biasanya, dalam Suatu Perjalanan, Ada 3 Tipe Manusia:
1. Orang-orang yang berdiri tegak pada batas-batas Allah SWT. Bagi mereka yang terpenting adalah mashlahat umum. Semangat mereka adalah keselamatan seluruh penumpang dan keamanan mereka. Juga keselamatan dan keamanan kapal dan kru-nya. Karena inilah kita dapati mereka:
a. Tetap berjaga saat semua orang tidur. Menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
b. Bersemangat untuk menempatkan penumpang sesuai dengan kedudukannya.
c. Mengedepankan dan menyuguhkan berbagai pelayanan semestinya demi kenyamanan dan keselamatannya..
Tidak ada yang diinginkan dari balik semua ini, baik balasan maupun ucapan terima kasih.
2. Orang-orang yang memaksakan kehendaknya kepada seluruh penumpang, seakan-akan kapal itu adalah “milik babenya”, sementara yang lainnya mereka pandang sebagai perompak atau pencari uang. Penilaian paling mendingan dari kelompok ini terhadap para penumpang adalah “‘abiru sabil” (orang-orang yang numpang lewat). Karena inilah sepanjang perjalanan, mereka ini berjalan hilir mudik ke sana ke mari, menciptakan suasana tidak nyaman dalam kehidupan para penumpang dengan berbagai tindak tanduk yang tidak ada hubungannya dengan adab-adab perjalanan
3. Orang-orang yang diam mencari selamat. Mencoba bersikap baik dengan para kru kapal dan bersikap baik pula kepada kelompok kedua. Mereka berdiam “sabar” terhadap pihak kru di satu sisi dan terhadap perilaku kelompok kedua di sisi yang lain, sambil menunggu datangnya solusi dalam waktu dekat.

Sebenarnya, ijabiyah tidak menerima sikap “damai” dan “berbaik-baik” kecuali dalam tempo yang singkat saja, sehingga menjadi jelas, mana benang putih dan mana benang hitam. Dan sehingga diketahui hakikat dan niat kru kapal maupun kelompok kedua yang mengacau itu. Bahkan, keselamatan semua penumpang berawal dari disiplin setiap penumpang untuk duduk sesuai dengan tempat yang masih tersedia, atau sesuai dengan nomor tiket yang dibawanya, atau sesuai dengan hasil “kocok atau undi”, sebagaimana yang disebut dalam hadits, “Sesungguhnya ada satu kaum yang mengundi naik kapal”, dengan demikian, setiap tempat duduk itu menjadi definitif berdasar ketentuan “kocok atau undian”, maka, hendaklah setiap penumpang menghormati legalitas “kocok atau undian” dan ridha terhadap cara Allah SWT membagi kepadanya, sehingga kapal akan sampai daratan dengan aman.

Pelajaran IV: Titanic dan Gunung Es
Titanic adalah sebuah kapal besar. Namun, gunung es yang ada di bawahnya lebih besar. Gunung es ini telah menghancurkan kapal besar tersebut. Ini maknanya:
1. Kekuatan kapal, betapa pun ia, tidak boleh menjadikan pemiliknya terkena ghurur, lalu melajukan kapal di lautan secara membuta tanpa memprediksikan berbagai kemungkinan mendadak, di mana kekuatan itu tidak akan mampu bertahan di hadapannya. Sebab ghurur itu musuh kekuatan. Bersandar pada sarana secara menyeluruh tanpa memberi perhatian yang semestinya kepada aqidah tawakal kepada Allah, ujung-ujungnya sangatlah menyedihkan.
2. Ghaflah dari Allah SWT, bersantai-santai di atas kursi yang empuk dalam perjalanan kehidupan yang berjalan dalam hembusan angin yang baik, tidak akan berlangsung lama. Sebab, setelah angin baik tersebut akan datang badai yang membangunkan semua yang tidur, mengingatkan yang lalai, serta mencekokkan banyak pelajaran keras bagi mereka yang kegirangan dengan perhiasan dunia dan kelezatan kehidupan yang mereka miliki. Dan hal ini adalah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan, sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata, (mereka berkata),

“Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kelaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar.” (Q.S. Yunus: 22 – 23)
Subhanallah ..

Inilah tabiat manusia, tidak berubah, tidak berganti dan tidak berpaling dari gaya intihazi (opportunis)-nya:
- Jika angin berhembus baik, mereka bergembira dengannya.
- Jika datang angin badai, mereka panik terhadap apa yang terjadi
Jika terkepung oleh gelombang dari berbagai penjuru, mereka ingat Allah (mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata, (mereka berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur”). (Yunus: 22).
- Jika Allah SWT berikan keselamatan, keamanan dan lolos dari mara bahaya, mereka lupa “baiat”-nya kepada Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu (wahai Muhammad) pada hakikatnya mereka berbaiat kepada Allah” (Al-Fath: 10), mereka melepaskan perjanjian mereka, berlepas dari komitmen mereka untuk bersyukur dan mengakui nikmat Allah, dan mereka bergerak di muka bumi dengan berbagai “proyek” pelanggaran hak, “ Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kelaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar.” (Yunus: 23)
Hasilnya sudah dapat ditebak, sebagian orang mengetahuinya dan sebagiannya lagi tidak mengetahuinya. Atas mereka tertimpa berbagai bencana di dunia, dan pada hari kiamat, hisab mereka di sisi Allah SWT sangatlah sulit, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kelalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kelalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Yunus: 23)

Dari kisah agung ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa:
1. Setiap tempat duduk penumpang, telah ditentukan oleh hasil qur’ah (undian),
2. Setiap penumpang dalam organisasi kapal, hendaklah menerima apa pun hasil undian itu,
3. Setiap penumpang hendaklah menempati tempat duduknya sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah SWT untuknya dan sesuai dengan angka undian yang didapatkannya dalam sebuah proses undian yang bebas,
4. Setiap penumpang hendaklah komitmen dengan adab bepergian, demi terjaminnya kenyamanan bersama,
5. Sesama penumpang hendaknya saling menghormati, menghargai yang berada di atas dan juga yang berada di bawah,
6. Setiap penumpang bekerja sama dalam menggebuk tangan seseorang yang bermaksud membuat lubang kapal – sebuah perbuatan yang didasarkan pada ijtihad yang salah, namun ia menduga bahwa dengan ijtihad-nya ini ia telah berbuat baik kepada yang berada di atas dan yang berada di bawah—sebab, tidak semua ijtihad bisa diterapkan. Jika prinsip ini tidak dipahami, maka kita akan terperosok kepada ijtihad seekor beruang yang ingin mengusir lalat yang menempel di wajah anaknya, namun ia mengusirnya dengan melemparkan batu besar ke arah wajah anaknya itu (dalam sebuah kisah yang populer).

Ijabiyah yang jelas terdapat dalam kisah tarbawi yang indah ini terdapat dalam sabda Rasulullah SAW, “’kalau saja kita membuat lubang pada jatah kita, sehingga kita tidak mengganggu yang di atas kita’”. Jadi, niatnya baik, yaitu ingin menghindari gangguan, hanya saja, akibatnya sangat-sangat fatal jika semua penumpang lainnya tidak memukul dengan kuat tangan-tangan yang berusaha membuat lubang di dalam kapal, sebab yang akan binasa bukan hanya nakhoda dan kru-nya, akan tetapi, seluruh kapal akan tenggelam dengan seluruh isinya, termasuk seluruh penumpangnya.
Siapa saja yang mendengar hadits ini dan menyaksikan film Titanic, ia tidak memerlukan lagi seorang pemberi mauizhah yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya lubang satu jarum akan mampu menenggelamkan kapal segede Titanic”.
Dan bahwasanya diamnya para penumpang yang membiarkan sang pembuat lubang di dalam kapal, yang bisa jadi “dengan niat baik” itu, adalah sikap salbi (pasif) yang akibatnya juga fatal, yaitu binasanya seluruh penumpang, baik yang melubangi, maupun yang dibuatkan lubang.
La haula wala quwwata illah billah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar