Sabtu, 20 Juni 2009

Menuju kesolidan organisasi

Paling tidak ada tiga fase yang biasa dilalui oleh sebuah organisasi sebagai suatu perputaran, yaitu planning, konsolidasi, dan mobilisasi. Dan saat ini kita sedang melewati sebuah fase, di mana pada fase ini kita sedang sibuk-sibuknya menata kembali organisasi da’wah kita, setelah melewati proses regenerasi dari satu kepengurusan ke kepengurusan berikutnya.

Perencanaan demi perencanaan adalah suatu kebutuhan. Dalam fase ini akan terlihat betapa berat tugas-tugas yang akan kita lalui. Betapa berat tanggung jawab yang akan kita hadapi di hadapan Allah dan di hadapan ummat. Oleh karena itulah kita harus mempunyai basis yang kokoh sebagai titik tolak untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut.

Ikhwan wa akhwat fillah..

Salah satu basis utama sebagai modal titik tolak dalam melaksanakan tugas-tugas kita adalah kesolidan jamaah atau kekokohan organisasi. Hal ini sebenarnya sudah sering kita dengar, baik itu dalam taujih-taujih, taushiyah, tarbiyah, dan sebagainya. Namun karena kesibukan dan tanggung jawab kita yang berat, maka kadang kala kita selalu lupa. Oleh karena itulah perlu senantiasa adanya pengingat, tadzkirah, sebagai suatu kebutuhan bagi orang-orang yang aktif. Dan taujih ini mencoba mengingatkan kita semua mengenai kesolidan jamaah.

Ikhwan dan akhwat fillah...

Untuk sebuah kesolidan atau kekokohan organisasi, paling tidak kita membutuhkan suatu kondisi yang sering disebut dengan istiqrar, ketenangan, atau kestabilan. Sudah barang tentu kondisi ini paling utama dituntut kepada setiap personal kader, kepada setiap ikhwan-akhwat yang komitmen kepada gerakan da’wah ini.

Stabilitas (Ketenangan) Jiwa

Pertama, setiap kader dituntut untuk selalu memperhatikan ketenangan jiwanya. Jangan sampai akibat kesibukan yang demikian banyak, tantangan yang demikian berat, tuntutan dan pengorbanan yang melampaui batas-batas kemampuan, membuat jiwa kita menjadi kacau. Yang kacau akan terguncang, yang akhirnya akan seperti yang disindirkan oleh Sayyid Quthb sebagai an-nuful al-mahzumah, jiwa yang kalah lebih dahulu sebelum terjun ke medan pertempuran. Oleh karena itu setiap kader ikhwan-akhwat harus memperhatikan dan memberikan inayah yang cukup terhadap ketenangan jiwanya.

Ketenangan jiwa hanya bisa diraih melalui upaya bagaimana kita bisa mengarahkan hati kita selalu berhubungan dengan Allah Ta’ala. Hanya dengan itulah ketenangan jiwa bisa ditumbuhkan, bisa dipelihara, dan dikembangkan. Karena hanya dengan mengingat Allah-lah hati bisa menjadi tenang, ala bidzikrillah tathmainnul qulub.

Ikhwan akhwat yang dicintai Allah..

Kita sebagai du’at dan da’i Ilallah harus menjadi orang yang paling sanggup memelihara hatinya dalam kondisi yang tenang dan stabil. Karena dari sanalah akan tumbuh tsiqah, yakin betul kepada Allah, yakin betul akan adanya kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah. Tanpa itu, dengan tantangan dan tugas yang berat ini, kita akan gelisah, oleh karena itu hati kita harus senantiasa dihubungkan dengan kekuatan Maha Besar, yaitu Allah Ta’ala. Yang bukan saja menggerakkan alam semesta ini, tapi Dialah Pencipta alam semesta ini. Dialah yang mengarahkan ke mana bergeraknya alam semesta, termasuk fenomena dengan aneka ragam kelompok dan ideologinya, aneka raga programnya, seluruhnya digerakkan oleh Allah dan akan mencapai target-target yang sudah dibatasi oleh iradah dan kehendak-Nya.

Menghadapi akan hal ini, kita tidak akan pernah bisa merasa gentar melihat kekuatan besar, karena Allah-lah yang Maha Besar. Kita tidak akan pernah merasa minder melihat lawan-lawan yang kaya raya, karena Allah-lah yang Maha Kaya, Yang Maha Mulia. Yakin! Mungkin apa yang kita miliki sekarang sedikit, tetapi yang dijanjikan Allah sebagai pertolongan-Nya adalah Maha, Maha Besar. Apa-apa yang disediakan Allah adalah untuk para mujahid. Sifat qana’ah inilah yang harus kita miliki. Tanpa qana’ah kita akan ngeri melihat kekayaan yang dimiliki lawan dengan hasil rampokannya yang demikian banyak, seolah-olah di mata kita akan berlomba dengan kekuatan seperti itu. Tetapi kalau kita yakin bahwa yang memerintahkan kita adalah Allah Ta’ala dalam rangka berlomba-lomba dalam kebaikan, insya Allah tidak akan ragu untuk mulai dan berjalan dengan manhaj Allah dan mencapai finish. Allahu Akbar!

Jiwa itulah yang harus dimiliki oleh para du’at sehingga apapun yang kita hadapi kalkulasinya bukan kalkulasi bumi, tetapi kalkulasi samawi, di mana seluruh fenomena universal ini tidak ada yang terlepas dari tadbir rabbani. Sekali-kali hanya ketenangan jiwa sajalah yang akan betul-betul yakin akan Allah dan pertolongan Allah.

Ikhwah fillah...

Allah telah mengarahkan kepada kita bagaimana agar ketenangan jiwa itu bisa dipelihara, maka kemudian Allah mewajibkan dan menyunahkan akan adanya sunnah berumah tangga dan berkeluarga. Karena keluarga adalah salah satu jenjang, salah satu sarana, salah satu wadah untuk memelihara jiwa-jiwa yang tentram. Allah SWT berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum: 21)

Kestabilan dan Ketenangan Keluarga para Da’i

Oleh karena itu, kestabilan jiwa harus dilanjutkan dengan upaya mewujudkan yang kedua, yaitu ketenangan dan kestabilan keluarga para da’i dan da’iyah. Keluarga para da’i tidak seperti keluarga kebanyakan manusia. Dari mulai titik tolaknya mereka berumah tangga, di mana rumah tangga itu dibangun dengan mahabbah fillah. Apalagi sama-sama dibangun melalui kesatuan aqidah, kesatuan fikrah, dan kesatuan minhaj. Bahkan selalu seiring bergandengan tangan dalam perjalanan dakwah dengan segala pengorbanannya, maka ikatan mahabbah fillah yang didasari wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul minhaj itu diikat pula oleh ikatan romantisme dakwah. Ikatan romantika dakwah yang mengikat rumah tangga kita. Allahu Akbar!!

Oleh karena itu setelah kita selalu memelihara ketenangan jiwa, kita pun harus betul-betul memelihara ketenangan keluarga. Rumah tangga da’i adalah homebase bagi dakwah itu sendiri. Oleh karena itu perlu dijaga ketenangannya. Keluarga yang guncang akan cukup merepotkan jamaah. Karena ia merupakan salah satu batu bata dari struktur jamaah ini. Ingat, setelah bina’ur fard adalah bina’ul usrah (keluarga), baik itu usrah harakiyah, usrah fithriyah, kauniyah maupun nasabiyah. Pelihara hubungan dengan istri, suami, dengan anak, dengan orang tua, mertua, dengan saudara, dengan siapapun yang tekait dengan keluarga kita. Karena seluruhnya merupakan modal utama bagi da’wah ini.

Stabilitas Sosial

Ikhwan dan akhwat fillah..

Yang ketiga adalah stabilitas sosial kita dalam berkomunikasi dengan tetangga, dengan masyarakat, masyarakat kampus, lingkungan, dsb. Kalau kita bisa memelihara kestabilan sosial, insya Allah lingkungan kita akan menjadi basis sosial bagi dakwah kita. Apalagi sekarang kita seringkali bergaul dalam lingkungan kita sendiri, misalnya di musholla, di masjid, dan sebagainya. Seharusnya kita bisa memberi keteladanan dalam membina hubungan sosial yang baik, harus memancarkan qudwah, masyarakat yang tenang dan tentram. Karena masyarakat yang tenang dan tentramlah yang dapat memberikan sumbangsihnya bagi lingkungan-lingkungan yang lebih luas, umat, bangsa, dan negara.

Kestabilan sosial dapat diwujudkan dengan mengembangkan komunikasi dan hubungan dengan siapa pun yang mempunyai prospek untuk kita membangun hubungan.

Kestabilan Tandzimi

Ikhwan dan akhwat fillah. Dengan modal kestabilan jiwa, kestabilan keluarga, dan kestabilan sosial, insya Allah secara struktural (tandzimi) kita pun akan tenang. Tandzim kita akan tenang tidak banyak PR, tidak banyak urusan internal, tidak mendengar sindiran sebagai organisasi qodhoya (penuh dengan masalah), karena yang selalu dibahas adalah qodhoya dan qodhoya. Dan ini tadzkirah. Sebenarnya fenomena tersebut hanya sedikit, tapi bagi organisasi cukup mengusik, mengusik hati, mengusik pikiran. Potensi qiyadah dan jundiyah terkuras oleh hal-hal yang demikian.

Oleh karena itu, dengan bermodalkan kestabilan jiwa, kestabilan keluarga, kestabilan sosial, insya Allah akan mencapai yang keempat, yaitu kestabilan tandzimi. Tandzim kita insya Allah akan menjadi struktur yang stabil, yang tenang, tidak direpotkan oleh isu, oleh gosip, oleh kasak-kusuk, oleh friksi-friksi yang na’udzubillah jika dibiarkan akan menjadi fraksi-fraksi..

Jika tercapai kestabilan tandzimi, maka kesolidan lembaga yang kita harapkan insya Allah dapat diwujudkan. Semoga lembaga da’wah kampus kita senantiasa dalam kondisi yang solid, tenang dan tentram, sehingga dapat menuntaskan perubahan dan mencetak mahasiswa-mahasiswi muslim sebagai da'i, agent of change, dan iron stock untuk masa depan menuju kemenangan. Allahu Akbar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar