Rabu, 24 Juni 2009

Adab Tilawah Qur-an

Qira-at menurut bahasa adalah bentuk jamak dari qira-ah (bacaan). Menurut istilah ilmiah, qira-at adalah salah satu madzhab pengucapan Qur-an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab yang lainnya.

Qira-at ditetapkan berdasarkan sanad-sanad yang periwayatannya sampai hingga Rasulullah saw. Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam Tabaqaatul Qurra’ bahwa para shahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira-at Qur-an ada tujuh orang, yaitu : Ubai bin Ka’ab, Ali bi Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, ‘Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’uud, Abu Darda’ dan Abu Musa Al Asy’ari. Segolongan besar sahabat mempelajari qira-at dari Ubai bin Ka’ab, di antaranya : Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibnu Abbas belajar pula kepada Zaid bin Haritsah.


Imam atau guru qira-at cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qira-ah sab’ah (qira-at tujuh) adalah qira-at tujuh orang imam yang disepakati kesahihan sanadnya oleh para ulama terkemuka pada abad ke-3 hijriyah. Ketujuh orang imam qurra’ tersebut yang dinisbatkan qira-atnya hingga zaman ini adalah : Abdullah bin Katsir (Makkah), Nafi’ bin Abdurrahman (Madinah), Al Kisa’i (Kufah), Hamzah (Kufah), Abu ‘Amr ‘Ala (Basrah/Iraq), Isa bin ‘Amir (Basrah) dan ‘Asim Al Jahdari (Basrah/Iraq). Kesemuanya hidup pada abad ke-1 hijriyah pada generasi tabi’in. Ketujuh qira-at inilah yang dianggap yang terbaik karena mutawatir. Sebagian ulama menyebutkan bahwa kualitas kesahihan qira-at terbagi menjadi enam derajat :

1. Mutawatir
Qira-at Mutawatir adalah qira-at yang diambil oleh sebagian besar periwayat yang besar jumlahnya tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta atau menyalahi. Qira-at Mutawatir adalah qira-at yang tujuh tersebut, yang sahih sanadnya dan mencapai derajat mutawatir dan bersambung hingga penghabisannya yaitu Rasulullah saw, sehingga riwayatnya tidak diragukan atau dipermasalahkan oleh para ‘ulama.

2. Masyhuur
Qira-at Masyhuur adalah tiga qira-at yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani juga terkenal di kalangan ulama qurra’. Mereka itu adalah : Abu Ja’far Yazzin bin Qa’qa’ (Madinah), Ya’qub bin Ishaq (Hadramaut, Yaman) dan Khalaf bin Hisyam.

3. Ahad
Qira-at Ahad adalah tiga qira-at yang sahih sanadnya tetapi menyalahi kaidah bahasa Arab dan menyalahi rasam Utsmani serta tidak terkenal di kalangan ulama qurra’.

4. Syadz (artinya: janggal/salah)
Qira-at Syadz adalah qira-at yang tidak sahih riwayatnya dipermasalahkan oleh para ‘ulama. Mereka itu adalah : Yazidi, Hasan, A’masy, Ibnu Zubair dan lainnya.

5. Maudhu’
Qira-at Maudhu’ adalah qira-at yang tak diketahui asal-usul sanad periwayatannya.

6. Mudraj
Qira-at Mudraj adalah qira-at yang menambahkan tafsir ayat ke dalam bacaan ayat tersebut.

Catatan khusus :
• Pernyataan Imam Nawawi (ahli ilmu hadits, ushul fiqh dan fiqh) dalam kitabnya Syarh Al Muhadz-dzab : “Qira-at diluar qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan Qur-an. Qur-an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan selain itu tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain itu adalah salah atau jahil. Seandainya orang tersebut menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira-at yang salah maka bacaannya harus diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.” Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca qur’an dengan qira-at diluar/selain qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur harus disuruh bertaubat.

• Imam Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ (konsensus) kaum Muslimin bahwa Qur-an tidak boleh dibaca dengan qira-at diluar qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur dan juga tidak sah melakukan shalat di belakang orang yang membaca Qur-an dengan qira-at diluar qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur.


Para ulama menganggap qira-at Qur-an tanpa tajwid sebagai suatu lahn (kesalahan lafazh) baik khafiy maupun jaliy. Lahn jaliy adalah kerusakan fatal dan nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qira-at hingga orang awam. Sedangkan lahn khafiy adalah kerusakan spesifik yang hanya dapat diketahui dan dideteksi oleh ulama qira-at maupun para pengajar Qur-an yang cara membacanya didapat langsung secara vis a vis lisan para ulama qira-at.

Berlebihan dalam tajwid hingga kelewat batas adalah sama bahayanya dengan lahn. Sebab hal tersebut merupakan penambahan/pengurangan huruf atau yang lainnya. Misalkan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa ini dalam membaca Qur’an, yaitu dengan irama ‘ratapan’ atau ‘jeritan’ yang melankolis/sendu dan penggal ayat yang diulang-ulang. Para ulama qurra’ menanggap hal tersebut sebagai bid’ah dan menyebutnya dengan istilah talhin. Hal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam As Suyuthi dalam Al Itqan fii ‘Ulumil Qur’an dan diungkapkan kembali oleh Imam Musthafa Shadiq Ar Rafi’i dalam I’jaazul Qur-aan dengan pernyataannya : “Di antara bid’ah dalam qira-at Qur-an adalah talhin (melagukan bacaan Qur-an dengan gaya yang menyimpang) yang hingga saat ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang-orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengaguminya. Mereka membaca Qur-an sedemikian rupa layaknya sebuah irama nyanyian.” Di antara talhin yang mereka kemukakan adalah :

1. Tar’iid : bila qari’ menggetarkan suaranya laksana kedinginan atau kesakitan.

2. Tarqiis : sengaja berhenti pada huruf sukun lalu dihentakkan tiba-tiba yang terkadang disertai gerakan tubuh.

3. Tathriib : melagukan ayat hingga menerapkan hukum mad bukan pada tempatnya atau lebih dari proporsinya.

4. Tahziin : melagukan ayat dengan irama memelas seperti orang yang sedih dengan khusyu & suara lembut.

5. Tardaad : bila sekelompok pendengar menirukan seorang qari’ pada menjelang akhir bacaan dengan salah satu gaya di atas.

------------------------

Sumber wacana :
Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, Syaikh Mana’ Khalil al Qath-than

* untuk download materi di atas dalam format pdf, silahkan klik di sini *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar