Sabtu, 27 Juni 2009

Adab Berbicara

Ajaran Islam amat sangat serius memperhatikan soal menjaga lisan sehingga Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (kema-luannya) maka aku menjamin Surga untuknya." (HR. Al-Bukhari).


Menjaga Lisan

Seorang muslim wajib menjaga lisannya, tidak boleh berbicara batil, dusta, menggunjing, mengadu domba dan melontarkan ucapan-ucapan kotor, ringkasnya, dari apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab kata-kata yang merupakan produk lisan memiliki dampak yang luar biasa.
Perang, pertikaian antarnegara atau perseorangan sering terjadi karena perkataan dan provokasi kata. Sebaliknya, ilmu pengetahuan lahir, tumbuh dan berkembang melalui kata-kata. Perdamaian bahkan persaudaraan bisa terjalin melalui kata-kata. Ironinya, banyak orang yang tidak menyadari dampak luar biasa dari kata-kata. Padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa keridhaan Allah, dan dia tidak menyadarinya, tetapi Allah mengangkat dengannya beberapa derajat. Dan sungguh seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang membawa kemurkaan Allah, dan dia tidak mempedulikannya, tetapi ia menjerumuskan-nya ke Neraka Jahannam" (HR. Bukhari)

Hadis Hasan riwayat Imam Ahmad menyebutkan, bahwa semua anggota badan tunduk kepada lisan. Jika lisannya lurus maka anggota badan semuanya lurus, demikian pun sebaliknya. Ath-Thayyibi berkata, lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya secara lahiriyah. Karena itu, hadits Imam Ahmad di atas tidak bertentangan dengan sabda Nabi yang lain: "Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan bila rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Berkata Baik Atau Diam

Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR. Al-Bukhari).

Adab Nabawi di atas tidak lepas dari prinsip kehidupan seorang muslim yang harus produktif menangguk pahala dan kebaikan sepanjang hidupnya. Menjadikan semua gerak diamnya sebagai ibadah dan sedekah. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "… Dan kalimat yang baik adalah sedekah. Dan setiap langkah yang ia langkahkan untuk shalat (berjamaah di masjid)adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah." (HR. Al-Bukhari).

Sedikit Bicara Lebih Utama

Orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri dari kesalahan. Kata-kata yang me-luncur bak air mengalir akan mengha-nyutkan apa saja yang diterjangnya, dengan tak terasa akan meluncurkan kata-kata yang baik dan yang buruk. Ka-rena itu Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam melarang kita banyak bicara. Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda artinya,
"…Dan (Allah) membenci kalian untuk qiila wa qaala." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah berkata, qiila wa qaala adalah asyik membicarakan berbagai berita tentang seluk beluk seseorang (ngerumpi). Bahkan dalam hadits hasan gharib riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang banyak bicara diancam oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam sebagai orang yang paling beliau murkai dan paling jauh tempatnya dari Rasulullah pada hari Kiamat. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, 'Tidak ada baiknya orang yang banyak bicara.' Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata, 'Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak kesalahannya.'

Dilarang Membicarakan Setiap Yang Didengar

Dunia kata di tengah umat manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, 'Siapa yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara yang dusta'. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam :
"Cukuplah seseorang itu berdosa, jika ia membicarakan setiap apa yang di-dengarnya."
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Cukuplah seseorang itu telah berdusta, jika ia membicarakan setiap apa yang didengarnya." (HR. Muslim).

Jangan Mengutuk dan Berbicara Kotor

Mengutuk dan sumpah serapah dalam kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji lainnya. Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:

"Seorang mukmin itu bukanlah seorang yang tha'an, pelaknat, (juga bukan) yang berkata keji dan kotor." (HR. Bukhari).
Tha'an adalah orang yang suka-merendahkan kehormatan manusia, dengan mencaci, menggunjing dan sebagainya.

Melaknat atau mengutuk adalah do’a agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Imam Nawawi rahima-hullah berkata, 'Mendo’akan agar seseorang dijauhkan dari rahmat Allah bukanlah akhlak orang-orang beriman. Sebab Allah menyifati mereka dengan rahmat (kasih sayang) di antara mereka dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Mereka dijadikan Allah sebagai orang-orang yang seperti bangunan, satu sama lain saling menguatkan, juga diumpamakan sebagaimana satu tubuh. Seorang mukmin adalah orang yang mencintai saudara mukminnya yang lain sebagai-mana ia mencintai dirinya sendiri. Maka, jika ada orang yang mendo’akan saudara muslimnya dengan laknat (dijauhkan dari rahmat Allah), itu berarti pemutusan hubungan secara total. Padahal laknat adalah puncak doa seorang mukmin terhadap orang kafir. Karena itu disebutkan dalam hadits shahih:
"Melaknat seorang mukmin adalah sama dengan membunuhnya." (HR. Bukhari). Sebab seorang pembunuh memutus-kan orang yang dibunuhnya dari berbagai manfaat duniawi. Sedangkan orang yang melaknat memutuskan orang yang dilaknatnya dari rahmat Allah dan kenikmatan akhirat.

Jangan Senang Berdebat Meski Benar

Saat ini, di alam yang katanya demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan. Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-kasus tertentu, menjelaskan argumen-tasi untuk menerangkan kebenaran yang berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna.

Tetapi, berdebat yang didasari ketidak-tahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal yang tidak berguna seperti tentang jumlah Ashhabul Kahfi atau yang sejenisnya maka hal itu hanya membuang-buang waktu dan berpe-ngaruh pada retaknya persaudaraan. (Lihat Tafsir Sa'di, 5/24, surat Kahfi: 22)

Maka, jangan sampai seorang mukmin hobi berdebat. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Saya adalah penjamin di rumah yang ada di sekeliling Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meski dia benar. Dan di tengah-tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun dia bergurau. Juga di Surga yang tertinggi bagi orang yang baik akh-laknya." (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

Dilarang Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa

Dunia hiburan (entertainment) menjadi dunia yang digandrungi oleh sebagian besar umat manusia.
Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dengan sabda beliau:
"Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!" (HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al-Albani).

Merendahkan Suara Ketika Berbicara

Meninggikan suaranya, berteriak dan membentak. Dalam pergaulan sosial, tentu orang yang semacam ini sangat dibenci. Bila sebagai pemimpin, maka dia adalah pemimpin yang ditakuti oleh bawahannya. Bukan karena kewibawaan dan keteladanannya, tapi karena suaranya yang menakutkan. Bila sebagai bawahan, maka dia adalah orang yang tak tahu diri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, 'Orang yang meninggikan suaranya terhadap orang lain, maka tentu semua orang yang berakal menge-tahui, bahwa orang tersebut bukanlah orang yang terhormat.' Ibnu Zaid berkata, 'Seandainya mengeraskan suara (dalam berbicara), adalah hal yang baik, tentu Allah tidak menjadikannya sebagai suara keledai.' Abdurrahman As-Sa'di berkata, 'Tidak diragukan lagi, bahwa (orang yang) meninggikan suara kepada orang lain adalah orang yang tidak beradab dan tidak menghormati orang lain.'

Karena itulah termasuk adab berbicara dalam Islam adalah merendahkan suara ketika berbicara. Allah berfirman, artinya: "Dan rendahkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai." (QS. Luqman: 19).


Hubungan Seksual dalam Islam

Konsultasi dengan Dr. Yusuf Al-Qardhawi

Pertanyaan:

Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu untuk menanyakan apa saja yang berkaitan dengan hukum agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi. Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan mengenai hubungan seksual antara suami-istri yang berdasarkan agama, yaitu jika si istri menolak ajakan suaminya dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak berdasar. Apakah ada penetapan dan batas-batas tertentu mengenai hal ini, serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang berdasarkan syariat Islam untuk mengatur hubungan kedua pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?


Jawab :
Benar, kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk menanyakan sesuatu hal. Aisyah r.a. telah memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat malu untuk menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat, dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang biasanya dihadiri oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam najis), mandi janabat, dan sebagainya. Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan Sunnah Nabi saw. dengan cara yang tidak mengurangi kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para ulama. Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini, agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.

Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).

1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu menikah. Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut : "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."

2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan Nabi saw. : "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan diri. Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis : "Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (H.r. Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan). Dianjurkan oleh Nabi saw. supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang. Nabi saw. telah bersabda : "Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih). Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt. adalah Tuhan bagi hamba-hambaNya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hambaNya juga menerima uzur tersebut. Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi saw. Bersabda : "Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi saw. menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda : "Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan hagi keluargamu (istrimu) ada hak."

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata : "Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir- rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. Mengatakan :"Ya Allah, jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku'."

Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak, maka tidak akan diganggu oleh setan." Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul 'Ibaad, mengenai sunnah Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.

Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata: Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah :
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan takdir Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.

Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi saw. telah menyatakan:
"Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan wewangian." Selanjutnya Nabi saw. Bersabda : "Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya." Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini.

Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual diantara kedua pasangan, suami istri, yang telah diterangkan dalam Al-Qur'anul Karim pada Surat Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga. Firman Allah swt. : "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu : "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu :"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s. Al-Baqarah: 222-223). Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.

Pada ayat di atas disebutkan :"Maka, datangilah tanah tempat bercocok-tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223). Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam Al-Qur'anul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.


Panduan Untuk Musafir

Ditengah-tengah kesibukan Anda menyiapkan tas travel dan koper dengan segenap perbekalan dan perlengkapan cobalah sisihkan sedikit waktu untuk merenung sejenak; Apa niat dan tujuan kepergian Anda? Jika niat kepergian Anda adalah baik maka kabar gembira untuk Anda dengan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam , artinya: "Barangsiapa yang berkeinginan untuk melakukan suatu kebaikan namun belum sempat menunaikannya maka Allah mencatat untuknya satu kebaikan yang utuh." (HR Al Bukhari).

Jikalau yang Anda niatkan bukan kebaikan maka hendaknya hati-hati dan waspada, karena Nabi telah menjelaskan bahwa dunia ini untuk empat golongan orang:

Pertama, hamba yang diberi oleh Allah harta dan ilmu lalu ia berhati-hati dan bertakwa kepada Rabbnya, menyambung silatur rahim dan ia tahu bahwa Allah memiliki hak atasnya, dan inilah kedudukan termulia seorang hamba.


Kedua, hamba yang diberi oleh Allah ilmu namun tidak mendapat limpahan rizki, namun ia punya niat yang benar dengan mengatakan: "Jika Allah memberiku harta maka akan kugunakan untuk amal kebaikan sebagaimana si fulan, maka ia mendapat pahala sebagaimana orang yang pertama.

Ketiga, hamba yang diberi limpahan rizki oleh Allah tetapi ia tidak mendapatkan ilmu sehingga ia menghabiskan hartanya dengan tanpa ilmu dan tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak mau menyambung silatur rahim dan tidak tahu bahwa Allah memiliki hak atas hartanya, maka inilah kedudukan terburuk seorang hamba.

Keempat, hamba yang tidak diberi oleh Allah harta maupun ilmu, ia mengatakan: "Andaikan aku kaya seperti si fulan maka aku akan (berfoya-foya) seperti yang ia kerjakan, sedangkan dia tetap dalam niatnya maka dosa keduanya adalah sama.

Jenis-jenis safar
Bepergian atau safar ada tiga macam:
1. Safar yang terpuji, bisa jadi ia adalah wajib seperti pergi haji bagi yang mampu, belajar menuntut ilmu, keluar dari negeri kafir menuju negeri muslim dan lain-lain. Mungkin juga ia adalah mustahab (dianjurkan) seperti mengunjungi kerabat dan orang alim atau sesuatu yang mubah seperti untuk urusan kerja agar kebutuhannya tercukupi.
2. Safar yang dibenci (makruh), seperti keluar dari suatu negeri yang sedang terserang wabah.
3. Safar yang tercela dan dilarang seperti pergi dalam rangka mendurhakai orang tua atau bepergian untuk tujuan jahat dan kerusakan.
Ada seorang alim ditanya tentang safar yang paling utama, maka beliau menjawab: "Yaitu yang paling membantu dalam urusan agama (ketaatan). "

Siapa teman Anda dalam safar?

Sendirian dalam safar merupakan perkara yang tercela dan dibenci, karena hal itu berbahaya untuk urusan agama maupun dunia seperti terhalang-nya untuk shalat berjama'ah, munculnya perasaan gelisah dan kesal, kemung-kinan marabahaya, dan rasa sepi karena tanpa teman.

Dalam hal memilih teman Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah memberikan gambaran yang jelas yaitu dengan sabdanya, yang artinya: "Perumpamaan teman duduk yang baik dan yang buruk diumpamakan seperti penjual minyak wangi dengan peniup pande besi." (Muttafaq alaih)

Dalam hadits yang lain Rasulullah juga pernah bersabda, artinya: "Sese-orang sangat bergantung erat dengan kondisi agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kamu melihat dengan siapa ia berteman." (HR At Tirmidzi dengan menyatakan hasan hadits ini).

Dengan memegang erat nasehat Nabi ini diharapkan kita tidak termasuk golongan orang yang menyesal kelak dihari kiamat gara-gara salah memilih teman, ia mengatakan : "Wahai sungguh celaka aku, kalau saja aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai sahabatku tentu nasibku tak akan begini. "

Safar ke negara kafir

Safar melancong ke negara kafir menurut Syaikh Abdur Rahman Al Jibrin jika tujuannya hanya sekedar tamasya dan wisata merupakan hal yang dibenci agama dan tidak sepantasnya dilakukan karena sangat banyaknya fitnah dan bahaya. Sedangkan jika untuk tujuan dakwah, taklim, menyebarkan agama dan nasehat merupakan perkara mustahab (disukai dan dianjurkan) dan pelakunya akan memperoleh pahala karena telah menampakkan syi'ar Islam dan ketinggiannya. Adapun untuk urusan perdagangan dan bisnis maka ia mubah dengan syarat mampu memperlihatkan identitas keislamannya, berpegang teguh dengan ajaran Islam. Jika tidak mampu komitmen dengan ketentuan tersebut bahkan terbawa arus seperti mengikuti adat dan mode kafirin, meninggalkan shalat jama'ah dan adzan (padahal rombongan), mencukur jenggot dan terkesan rela terhadap kekufuran, kemusyrikan maupun kemungkaran karena ketidakberdayaan, maka yang demikian hukumnya menjadi haram walaupun untuk tujuan berdagang.

Tak henti-hentinya orang kafir memasang iklan, menyebar pamflet dan brosur mempropagandakan agar kaum muslimin dan putra-putrinya melancong ke negeri mereka entah itu dengan alasan studi maupun sekedar untuk mengisi liburan.

Diantara tujuan mereka yang terpenting dari program ini adalah:
1. Untuk menyelewengkan dan menyesatkan remaja kaum muslimin.
2. Merusak moral dan menjerumuskan mereka ke dalam kehinaan denga cara menyediakan sarana dan media yang merusak yang bisa diperoleh dengan mudah di sembarang tempat.
3. Menanamkan keraguan dalam bidang akidah dan keimanan.
4. Menanamkan jiwa kagum terhadap penampilam kaum kafir.
5. Mendorong orang Islam agar mayoritas tingkah lakunya mengikuti budaya kafir dan adat mereka yang buruk.
6. Membiasakan untuk tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam, tidak mau memperhatikan adab dan perintah - perintah agama.
7. Mengkader para pemuda muslim agar menjadi corong untuk mempropagandakan negeri mereka yang kafir, sehingga setelah kembali dari peran-tauan atau bepergian jadilah orang yang kenyang dengan pemikiran kafir, adat kebiasaan mereka, sistim kerja dan bisnis mereka.[

Tempat tempat yang seharusnya dihindari

Jangan sampai kita memasuki tempat-tempat yang dapat menyeret kepada perbuatan dosa seperti: Pentas Musik dan sejenisnya, tempat yang terjadi ikhtilat (campur baur bebas pria wanita), diskotik pub dan semisalnya serta bioskop-bioskop juga tempat kemaksiatan lain secara umum.

Cobalah kita tanya diri kita tentang tempat-tempat tersebut:
a. Adakah didalam tempat-tempat tersebut wajah-wajah sejuk dan indah yang dapat mengingatkan kita kepada Allah?
b. Apakah kita senang jika kematian menjemput sedangkan kita berada dalam tempat tersebut?Bukankah banyak tempat maksiat yang mendadak terbakar dan menelan korban, terjadi ribut dan perkelahian dan sebagainya?
c. Apakah jika anak-anak kita memasukinya dia disana akan belajar birul walidain dan adab kepada orang tua?
d. Apakah ditempat-tampat tersebut diajarkan keluhuran budi dan akhlak yang baik?
e. Apakah kita senang jika dalam lembaran amal kita tertulis bahwa dulu semasa didunia kita sering memasuki tempat-tempat itu?
Jangan lupa bahwa dikanan kiri kita ada malaikat yang mencatat seluruh amal perbuatan yang kita lakukan.

Petunjuk Penting

a. Sebaiknya melakukan istikharah ketika akan menetapkan jenis safar.
b. Jika telah memperoleh kemantapan hendaknya dimulai dengan taubat dan menjauhi bentuk-bentuk kezhaliman terhadap sesama makhluk. Jika punya hutang sebaiknya dilunasi dulu, jika belum sempat hendaknya minta izin kepada pihak yang kita hutangi.
c. Hendaknya minta izin dan doa restu orang tua.
d. Disunnahkan untuk bersama-sama dengan teman yang lain dan jika bisa lebih dari tiga orang.

Diantara ciri-ciri safar Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam :
* Safar beliau berkisar pada empat hal; untuk hijrah, jihad (dan ini yang terbanyak), untuk umrah dan untuk haji.
* Nabi biasa keluar rumah hari Kamis diawal waktu siang.
* Berdoa ketika naik kendaraan, bertakbir ketika menaikai tanjakan atau bukit, bertasbih ketika menuruni lembah.
* Bersegera kembali kepada keluarga-nya jika keperluan telah selesai, tidak mengagetkan (membangunkan) mereka ketika pulang waktu malam.
* Mengqashar (meringkas) shalat yang empat rakaat, dan berbuka ketika safar dibulan Ramadhan.

Mari Bandingkan

Mari bandingkan keadaan kita dengan mereka yang pergi ke kamp-kamp pengungsian untuk memberi bantuan kepada para pengungsi, mencurahkan perhatian dan waktunya untuk membantu saudaranya dalam rangka mencari ridha Allah dan memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada kaum muslimin.

Mari ukur diri kita dengan para relawan yang yang mendatangi negeri-negeri yang sedang dilanda kelaparan lalu ia sumbangkan sebagian hartanya dijalan Allah untuk membantu mengisi kekosongan perut saudaranya.

Bandingkan juga dengan mereka yang pergi dalam rangka dakwah menyeru umat kejalan Allah, menyebarkan ilmu, menumpas kebodohan dengan segenap kemampuan, memberantas kesyirikan dan kesesatan. Alangkah beruntungnya jika kita atau siapa saja yang memiliki kelebihan harta mau bergabung bersama-sama mereka menebar kebaikan dimuka bumi.

Safarnya wanita tanpa mahram

Nabi memperingatkan agar para wanita tidak melakukan safar kecuali bersama mahram. Dalam hadits disebut-kan: Dari Ibnu Abbas Radhiallaahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahram dan tidak boleh seorang laki-laki masuk (menemuinya) kecuali ia bersama mahramnya." (HR Asy Syaikhan)

Para ulama dan masyayikh berpendapat bahwa larangan safar bagi wanita tanpa mahram sama sekali tidak berkaitan dengan kondisi, jenis safar dan pertimbangan pertimbangan tehnis lainnya, artinya ia merupakan sesuatu yang mutlak. Demikian Wallahu a'lam bish shawab.

(Disarikan dari bulletin Darul wathan, Lil musafirin)


Beberapa Hal tentang Halal Haram dalam Muamalah

Kaidah Ushul_Fiqh :
1. Segala sesuatu yang berkenaan dengan ‘ibadah mahdhah (ritual), semuanya haram kecuali yang dihalalkan oleh Allah SWT dan telah ditauladankan oleh Rasulullah saw.
2. Segala sesuatu yang berkenaan dengan ‘ibadah ghairu mahdhah (nonritual), semuanya halal kecuali yang diharamkan oleh Allah SWT dan telah dilarang oleh Rasulullah saw.
3. Dalam berbagai perkara ‘ibadah mu’amalah :
a. Pulangkan kepada kehalalannya sebelum ada kejelasan dalil keharamannya.
b. Tidak boleh ada yang merugikan dan tidak boleh ada yang dirugikan.


Berbagai hal yang diharamkan :

Benda Konsumsi
1. Khamr
2. Maysir (Bangkai)
3. Darah
4. Hewan-hewan
a. Babi
b. Anjing
c. Hewan peliharaan rumah, misalnya kucing
d. Hewan buas dan hewan yang memakan dengan cakar/taring
e. Hewan yang hidup di dua alam

Transaksi & Jual-Beli
1. Riba
2. Judi
3. Jual-beli benda yang diharamkan untuk dikonsumsi
4. Jual-beli dengan panjar (uang muka) dengan syarat uang muka akan hilang/hangus jika transaksi batal.
5. Jual 2 benda dalam 1 paket harga
6. Najasy (memuji barang dagangan supaya laku)
7. Tsunaiyya (menjual dengan pengecualian atas barang yang sejenis tetapi berbeda ukuran)
8. Muhaaqalah (menjual tanaman dengan barang pengganti secara borongan/kurs harga tak jelas)
9. Muzaabanah (transaksi benda yang tak diketahui ukurannya dengan benda yang tak diketahui ukurannya pula)
10. Mukhaadharah (transaksi sistem ijon)
11. Mulaamasah (transaksi tanpa melihat barang, hanya dengan menyentuh/meraba saja)
12. Munaabadzah (transaksi berdasarkan patokan lemparan batu)
13. Gharar (“jual kucing dalam karung”/transaksi yang belum tentu harganya, rupanya, tempatnya, dsb)
14. Talaqqu (mencegat pedagang sebelum tiba di pasar; pedagang tsb belum mengetahui harga di pasar)
15. Menawar di atas tawaran saudaranya
16. Menjual induk sehingga terpisah dari anaknya atau sebaliknya.
17. Menimbun
18. Curang dalam timbangan (sama dengan tipu daya)
19. Menjual benda yang belum ada di tangan/belum utuh kepemilikannya (sama dengan gharar)


Jumat, 26 Juni 2009

Karakteristik Pemuda Muslim dalam Sorotan Siroh

Ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz bertahta, telah datang beberapa utusan Hijaz, salah satunya terdapat seorang pemuda yang usianya paling muda di antara mereka. Umar berkata, "Wahai pemuda saya berharap yang menjadi juru bicara adalah orang yang lebih tua umurnya darimu".

Mendengar ucapan seperti itu pemuda tersebut berdiri dan berkata,"Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya seseorang itu dikarenakan dua hal yang paling kecil padanya, yaitu hati dan lisannya. Jika Allah telah menjaga hatinya (dari maksiat) dan memberikan lisan yang anggun (sopan), maka dia berhak untuk berbicara. Dan seandainya segala perkara dikarenakan oleh usia seseorang, maka yang berhak untuk duduk dalam jabatanmu adalah orang yang lebih tua darimu." (1) Mendengar ucapan tersebut, terkejutlah Umar atas kebenaran yang yang dikemukakan oleh pemuda itu.

Sejak jaman dahulu kala, bahkan jauh sebelum Islam muncul di muka bumi ini, para Nabi dan Rasul yang diutus untuk menyampaikan wahyu Allah SWT dan syari'at-Nya kepada umat manusia, semuanya adalah orang-orang terpilih dari kalangan pemuda yang berusia sekitar empat puluhan. Bahkan ada di antaranya yang diberi kemampuan untuk berdebat dan berdialog sebelum umurnya genap 18 tahun. Berkata Ibnu Abbas ra, "Tidak ada seorang Nabipun yang diutus oleh Allah, melainkan ia (dipilih) dari kalangan pemuda saja (yakni antara 30 - 40 tahun). Begitu pula tidak seorang 'alimpun yang diberi ilmu melainkan ia (hanya) dari kalangan pemuda saja". Kemudian Ibnu Abbas membaca firman Allah SWT, "Mereka berkata : Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim." (2)

Tentang Nabi Ibrahim, Al Qur'an lebih jauh menceritakan bahwa beliau telah berdebat dengan kaumnya, menentang peribadatan mereka kepada patung-patung yang sama sekali tidak memberi manfaat dan mendatangkan mudharat. Saat itu beliau belum dewasa, seperti yang tertera dalam firman Allah SWT,

"Sesungguhnya, Kami telah memberikan kepandaian pada Ibrahim sejak dahulu (sebelum mencapai masa remajanya) dan Kami kenal kemahirannya. Ketika dia berkata kepada bapak dan kaumnya : 'Patung-patung apakah ini, yang selalu kalian sembah ?' Mereka berkata : 'Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya.' Dia berkata : 'Sungguh kalian dan bapak-bapak kalian itu dalam kesesatan yang nyata'. Mereka menjawab : 'Apakah engkau membawa kebenaran kepada kami, ataukah engkau seorang yang bermain-main saja?' Dia berkata : 'Tidak, Tuhanmu adalah yang memiliki langit dan bumi yang diciptakan oleh-Nya, dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu'". (QS Al Anbiyaa : 51-56)

Perlu digarisbawahi di sini, bahwa para Nabi as telah diutus untuk mengubah keadaan saja, sehingga setiap Nabi yang diutus adalah orang-orang terpilih dan hanya dari kalangan pemuda (Syabab) saja. Bahkan kebanyakan pengikut mereka adalah dari kalangan pemuda juga, meskipun tentu saja ada yang sudah tua atau bahkan masih anak-anak. Kita ingat misalnya Ashabul Kahfi, yang tergolong sebagai pengikut Nabi Isa as. Mereka ini adalah sekelompok anak-anak usia muda yang menolak kembali ke agama nenek moyang mereka dan menolak menyembah selain Allah SWT. Oleh karena jumlahnya sedikit, tujuh orang di antara sekian banyak masyarakat yang menyembah berhala-berhala, maka mereka pun bermufakat untuk mengasingkan diri dari masyarakat dan berlindung dalam suatu gua. Fakta sejarah ini diperkuat oleh Al Qur'an, yang dikisahkan dalam QS Al Kahfi : 9-26, di antaranya,

"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan lalu berdoa : 'Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan tolonglah kami dalam menempuh langkah yang tepat dalam urusan (ini)' " (ayat 10)

"Kami ceritakan kisah mereka kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta), dan Kami berikan kepada mereka tambahan pimpinan (iman, taqwa, ketetapan hati dan sebagainya)"" (ayat 13)

Junjungan kita Nabi Muhammad SAW tatkala diangkat menjadi Rasul, beliau juga baru berusia empat puluh tahun. Pengikut-pengikut beliau yang merupakan generasi pertama, kebanyakan juga dari kalangan pemuda, bahkan ada yang masih kecil atau belum dewasa. Usia para pemuda Islam yang mendapatkan tarbiyah pertama di Daarul Arqaam, pada tahap pengkaderan adalah sebagai berikut :

1. Ali bin Ali Thalib, paling muda di antara mereka, usianya saat masuk Islam baru 8 tahun
2. Az Zubair bin Al 'Awwam, sama dengan Ali yaitu 8 tahun
3. Thalhah bin Ubaidillah, 11 tahun
4. Al Arqam bin Abil Arqaam, 12 tahun
5. Abdullah bin Mas'ud, 14 tahun
6. Sa'ad bin Abi Waqqaas, 17 tahun
7. Su'ud bin Rabi'ah, sama dengan Sa'ad, yaitu 17 tahun
8. Abdullah bin Mazh'un, juga berusia 17 tahun
9. Ja'far bin Abi Thalib, 18 tahun
10. Qudaamah bin Mazh'un, 19 tahun
11. Sa'id bin Zaid, berusia di bawah 20 tahun
12. Suhaib Ar Rumi, juga berusia di bawah 20 tahun
13. Assa'ib bin Mazh'un, kira-kira 20 tahun
14. Zaid bin Haritsah, sekitar 20 tahun
15. 'Usman bin 'Affan, sekitar 20 tahun
16. Tulaib bin 'Umair, sekitar 20 tahun
17. Khabab bin Al Art, juga sekitar 20 tahun
18. 'Aamir bin Fahirah, 23 tahun
19. Mush'ab bin 'Umair, 24 tahun
20. Al Miqdad bin Al Aswad, seperti Mush'ab 24 tahun
21. Abdullah bin Al Jahsy, 25 tahun
22. Umar bin Al Khaththab, 26 tahun
23. Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, 27 tahun
24. 'Utbah bin Ghazwaan, juga 27 tahun
25. Abu Hudzaifah bin 'Utbah, sekitar 30 tahun
26. Bilal bin Rabah, sekitar 30 tahun
27. 'Ayyasy bin Rabi'ah, kira-kira 30 tahun
28. 'Amir bin Rabi'ah, sekitar 30 tahun
29. Nu'aim bin Abdillah, hampir 30 tahun
30. 'Usman bin Mazh'un, kira-kira 30 tahun
31. Abu Salamah, Abdullah bin 'Abdil Asad Al Makhzumi, sekitar 30 tahun
32. Abdurrahman bin 'Auf, juga 30 tahun
33. Ammar bin Yasir, antara 30-40 tahun
34. Abu Bakar Ash Shiddiq, 37 tahun
35. Hamzah bin Abdil Muththalib, 42 tahun
36. 'Ubaidah bin Al Harits, paling tua di antara semua sahabat, 50 tahun.

Bukan hanya mereka saja yang dari kalangan pemuda, akan tetapi ratusan ribu lainnya yang memperjuangkan dakwah Islam, pembawa panji-panji Islam serta pemimpin bala tentara Islam di masa Nabi ataupun sesudahnya, mereka seluruhnya dari kalangan pemuda, bahkan remaja yang belum atau baru dewasa. Adalah Usamah bin Zaid yang diangkat oleh Nabi sebagai komandan untuk memimpin pasukan kaum muslimin menyerbu wilayah Syam, yang saat itu merupakan salah satu wilayah kerajaan Romawi. Masih ingat usia beliau saat itu? Ya, delapan belas tahun. Padahal di antara prajuritnya terdapat orang yang lebih tua dari Usamah, seperti : Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan lain-lain. Abdullah Ibnu Umar tak kalah juga hebatnya, semangat juang untuk berperang mulai memanaskan jiwanya sejak usia 13 tahun. Ketika itu Rasulullah SAW sedang mempersiapkan barisan pasukan pada perang Badar. Dua pemuda kecil datang menghampiri beliau, seraya meminta agar diterima menjadi prajurit. Tak salah lagi, dua pemuda kecil tersebut adalah Abdullah bin Umar dan Al Barra'. Saat itu Rasulullah saw menolak mereka. Tahun berikutnya pada perang Uhud, keduanya datang lagi, tetapi yang diterima hanya Al Barra'. Dan pada perang Al Ahzab barulah Nabi menerima Ibnu Umar sebagai anggota pasukan kaum muslimin. (3)

Melalui para pemuda seperti inilah, Islam berhasil menyingkirkan segala macam kekuatan. Ada satu peristiwa yang sangat menarik sekali untuk direnungkan para pemuda jaman ini. Peristiwa ini selengkapnya diceritakan oleh Abdurrahman bin 'Auf,
"Selagi aku berdiri di dalam barisan dalam perang Badar, aku melihat ke kanan dan kiriku, saat itu tampaklah olehku dua orang Anshar yang masih muda belia. Aku berharap semoga aku lebih kuat daripadanya. Tiba-tiba salah seorang di antaranya menekanku seraya berkata : 'Hai paman, apakah engkau mengenal Abu Jahal ?' Aku jawab : 'Ya, apakah keperluanmu padanya, hai anak saudaraku?' Dia menjawab : 'Ada seseorang yang memberitahuku bahwa Abu Jahal ini sering mencela Rasulullah SAW. Demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya jika aku menjumpainya tentu takkan kulepaskan dia sampai siapa yang terlebih dahulu mati, antara aku atau dia! 'Berkata Abdurrahman bin 'Auf : 'Aku merasa heran ketika mendengar ucapan anak muda itu.'Kemudian anak yang satunya lagi itupun menekanku dan berkata seperti ucapan temannya tadi. Tidak lama berselang akupun melihat Abu Jahal mondar-mandir di dalam barisannya, segera aku katakan (kepada dua anak muda itu), 'Inilah orang yang sedang kalian cari.' Tanpa mengulur-ulur waktu, keduanya seketika menyerang Abu Jahal, menikamnya dengan pedang sampai tewas. Setelah itu merekapun menghampiri Rasulullah SAW (dengan rasa bangga) melaporkan kejadian itu. Rasulullah bertanya, 'Siapakah di antara kalian yang menewaskannya?' Masing-masing menjawab, 'Sayalah yang membunuhnya.' Lalu Rasulullah bertanya lagi, ' Apakah kalian sudah membersihkan mata pedang kalian?' 'Belum', jawab mereka serentak. Rasulullah pun kemudian melihat pedang mereka, seraya bersabda, 'Kamu berdua telah membunuhnya. Akan tetapi segala pakaian dan senjata yang dipakai Abu Jahal (boleh) dimiliki Mu'adz bin Al Jamuh'. (Berkata perawi hadits ini) : Bahwa kedua pemuda itu adalah Mu'adz bin'Afra dan Mu'adz bin 'Amru bin Al Jamuh." (4)

Pemuda-pemuda yang dipaparkan di atas merupakan pemuda yang telah membuktikan pada masanya akan aktivitas yang mereka lakukan dan bisa mengubah wajah dunia saat itu dan sekarang, Insya Allah. Dari potret pemuda masa lalu tersebut, kita dapat menggali dari mereka dan merefleksikan pada diri kita dengan situasi dan kondisi yang berbeda. Agar kita bisa menjadi sosio kultur atau pengubah ke arah yang baik, untuk menjayakan kembali umat Islam ini. Sehingga akan datang janji Allah pada kita sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah,

"Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan bagiku dunia ini, baik ufuk Timur maupun Barat. Dan kekuasaan umatku akan sampai kepada apa yang telah diberikan kepadaku dari dunia ini." (5)

Saat ini yang harus kita refleksikan dari diri mereka ada tiga hal dan ketiga hal tersebut disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat Fushilat : 33,
"Dan siapakah ucapannya yang paling baik daripada orang yang berdakwah kepada Allah, beramal yang baik dan berkata : 'Sesungguhnya aku ini adalah termasuk orang-orang yang berserah diri' ."

Ketiga hal tersebut (dalam ayat di atas) adalah :

1. Berdakwah atau mengajak umat ini kepada Allah. Dengan kata lain seorang pemuda harus berani mengungkapkan kebenaran yang ada pada Islam, serta membeberkan kerusakan-kerusakan yang ada pada sistem atau pada ide-ide Barat yang banyak diikuti oleh pemuda-pemuda yang bodoh. Dengan dakwah ini pemuda-pemuda pada masa Rasulullah sanggup mengubah kultur yang rusak ke arah yang baik, menegakkan panji-panji Islam dan sanggup menghancurkan setiap kebatilan yang ada. Melalui dakwah ini pula Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang tergolong sebagai pemuda, mengadakan pemberangusan terhadap idiologi-idiologi yang bertentangan dengan Islam dan menyebarkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

2. Beraktivitas yang baik dan sesuai dengan syari'at-syari'at Islam. Seorang pemuda seharusnya bisa beraktivitas yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain, dengan batasan-batasan syari'at Allah.

3. Seorang pemuda muslim yang benar-benar bertaqwa, harus berserah diri pada Islam. Maksudnya pemuda harus menjadikan Islam sebagai standart dari perilaku, sehingga kehidupan seorang pemuda akan benar-benar mendapat ridla Allah SWT.
Dengan tiga hal tersebut, seorang pemuda harus benar-benar menjalankannya, supaya akan datang janji Allah. Sebagaimana firman Allah pada surat An Nuur : 55,

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal yang baik, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menja- dikan mereka berkuasa di muka bumi ini sebagaiman telah Dia jadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh-sungguh Dia akan menegakkan bagi mere- ka agama yang telah diridloi-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menu- kar (keadaan mereka) sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sen- tosa. Oleh karena itu mereka menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku."
Wallahu 'A'lam bish Showaab.

Qismu Dakwah Yayasan Al Haromain

Catatan Kaki :
1. Zakrul Adab, jilid I, hal. 7
2. QS Al Anbiyaa : 60; Tafsir Ibnu Katsir, jilid III, hal. 183
3. Shahih Bukhari, jilid VII, hal. 226 dan 302
4. Musnad Imam Ahmad, jilid I, hal. 193; Shahih Bukhari, hadits nomor 314; Shahih Muslim, hadits nomor 1752
5. HR Muslim, jilid VIII, hadits no. 1771; Abu Dawud, hadits no. 4252; Tirmidzi, jilid II, hal. 27


Jangan Marah !!

Saat berinteraksi dengan masyarakat, tak jarang kita menemui banyak kendala, baik yang bersifat agamis, sosial, psikologis dan sebagainya. Juga, tak jarang di dalam menyikapi hal itu, kita sering terpancing oleh emosi tak terkendali, sehingga perkara yang sebenarnya remeh dan kecil menjadi besar dan berakibat fatal.

Seorang suami, lantaran kecemburuan yang membuta misalnya, tega menceraikan isterinya yang tengah hamil; seorang ayah, lantaran kebandelan anaknya yang sebenarnya merupakan benih dari kesalahannya sendiri, tega memukulinya hingga babak belur; seorang yang suka berjudi, lantaran kebodohannya sendiri sehingga kalah, sangat sering mengakhirinya dengan perkelahian bahkan pembunuhan. Dan seterusnya, dimana semua itu bila dikaji dari sudut syar’i adalah sangat mudah untuk diselesaikan.


Itulah emosi yang meluap-luap akibat kehilangan kendali dan keseimbangan akal sehingga bertindak di luar batas normal (marah yang berlebihan).

Mengingat betapa kompleksnya permasalahan ini dan betapa banyak korbannya serta kurangnya pemahaman tentang sebab, akibat dan solusinya, maka dalam tulisan ini, kami sengaja mengangkatnya dengan harapan dapat memberikan solusi yang -paling tidak- dapat mengurangi “wabah” yang telah menyerang umat tersebut. Wallaahu a’lam.

NASKAH HADITS

Dari Abu Hurairoh Radhiallaahu anhu bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam: “Berilah aku nashihat!”. Beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah engkau marah!’. Orang tersebut mengulangi berkali-kali, beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam (tetap) bersabda: “Janganlah engkau marah”. (HR. al-Bukhâriy)

Ungkapan, “seorang laki-laki” yang dimaksud dalam hadits di atas adalah seorang shahabat agung, yang bernama Jâriah bin Qudâmah

Ungkapan, “Janganlah engkau marah” maksudnya; jauhilah sebab-sebabnya.

Ungkapan, “orang tersebut mengulangi berkali-kali”, maksudnya bahwa dia mengulangi pertanyaan yang sama dan mengharap jawaban yang lebih bermanfaat, lebih mengena atau lebih umum dari itu lagi (menurutnya), namun beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam tidak menambah jawabannya.

Mengenai matan/naskah hadits

Hadits tersebut merupakan Jawâmi’ al-Kalim dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, yakni suatu ucapan yang mengandung lafazh yang sedikit, namun memiliki arti yang banyak, alias singkat tapi padat. Sehubungan dengan hadits tersebut, para ulama berbicara panjang lebar di dalam syarah mereka terhadapnya karena kandungannya yang meliputi faedah-faedah, hukum-hukum serta berbagai hikmah dan rahasia di balik itu. Seorang muslim hendaklah merenungi dan meresapi petunjuk-petunjuk Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dan wasiat-wasiatnya, sehingga dapat mempraktekkan apa yang terkandung di dalamnya.

Seputar Pengertian Marah

Marah adalah suatu kondisi psikologis (kejiwaan) yang membuat lahiriah badan dan bathin tidak normal. Ia terjadi dari sebab-sebab tertentu dan memiliki implikasi yang amat berbahaya. Dalam menyikapinya pun, masing-masing orang berbeda-beda. Namun, Islam memiliki resep tersendiri dalam menghadapinya yang perlu direnungi oleh seorang muslim, sekaligus dipraktekkan.

Klasifikasinya

Bila dilihat dari klasifikasinya, marah terbagi menjadi beberapa macam:

Terpuji:
yaitu marah yang diekspresikan karena Allah Ta’ala. Indikasinya; Apabila seorang muslim melihat suatu larangan Allah dilanggar, maka dia menjadi marah semata-mata karena semangat membela Dien-Nya. Orang yang melakukan tindakan seperti ini akan mendapatkan pahala dari Allah, karena Allah berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya…”. (Q.S. 22/al-Hajj: 30). Tentunya, karena dia melakukan hal itu dalam rangka “nahi munkar”, maka perlu pula baginya untuk mempertimbangkan tingkatan dalam hal itu.

Tercela:
yaitu marah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam seperti seorang yang marah karena membela kebathilan dirinya dan membangga-banggakannya. Orang yang melakukan hal ini akan diganjar dosa yang setimpal oleh Allah.

Marah bawaan:
yakni yang memang sudah menjadi sifat bawaan manusia sejak lahir, seperti, orang yang marah lantaran permintaannya ditolak, dan sebagainya. Asal hukum hal ini adalah dibolehkan akan tetapi dilarang karena implikasinya yang berbahaya dan amat tercela. Jenis ini termasuk ke dalam marah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam pembahasan hadits ini.
Sebab-sebab terjadinya

Di antaranya:
a. Bawaan/fithrah/tabi’at
b. Merasa tinggi dan sombong terhadap orang lain
c. Egoisme dan kecintaan terhadap diri sendiri yang berlebihan
d. Perselisihan yang tajam yang berkepanjangan dan tidak ada manfaatnya
e. Saling menuduh meski sekedar untuk bergurau
f. Saling mengejek dan merendahkan antar satu sama lainnya.

Sebab-sebab tersebut dapat membuka “pintu marah” sehingga syaithan memasukinya dan mempermainkan seseorang dengan amarahnya tersebut.

Implikasi dan Pengaruhnya:

Di antara implikasi dari marah dan pengaruhnya yang berbahaya:
Ia menghilangkan kesadaran orang yang normal sehingga berbuat dibawah kendali perasaannya yang memuncak dan akibatnya dia melakukan hal-hal yang buruk dan akan menyesalinya setelah kemarahan tersebut mereda.

Ia dapat membuat orang lain menjadi takut kepada pemiliknya (si pemarah), sehingga karena itu, dia dikucilkan sebab takut jika mendapatkan “jatah marahnya”. Akibatnya, dia dibenci oleh orang lain, tidak dihormati apalagi disukai.
Ia dapat membuka “pintu” bagi syaithan sehingga bila berhasil memasuki akal si pemarah, dia akan mempermainkan sesukanya.

Ia dapat membuyarkan kehidupan sosial yang harmonis, sehingga merenggangkan ikatan persaudaraan yang ada dan membahayakan bagi kelangsungannya.

Ia juga dapat membahayakan kesehatan dan badan, sehingga berpengaruh langsung terhadap saraf otak yang merupakan sumber sirkulasi tugas-tugas badan secara keseluruhan. Contohnya, dapat meningkatkan persentase glukosal (zat gula), menambah tekanan darah serta memberatkan fungsi hati dan pembuluh-pembuluh darah yang sakit.
Ia dapat berimplikasi pada rusaknya harta benda, atau berpengaruh terhadap seseorang sehingga semuanya harus ditanggung oleh pemiliknya (si pemarah) itu sendiri.

Solusi

Di antara solusi penyembuhannya secara syar’i:
Menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkannya
Berzikir kepada Allah melalui lisan dan hati, karena marah bersumber dari syaithan, maka apabila disebut nama Allah, dia akan bersungut kerdil. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’d: 28)

Mengingat pahala yang diberikan oleh Allah bila berhasil meninggalkan marah dan mengekangnya serta memberi ma’af kepada manusia. Di antara nash-nash yang mendukung hal ini adalah firmanNya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Ali ‘Imrân: 133-134)
Mengingat implikasi negatifnya; sebab andai si pemarah melihat gambaran dirinya dalam kondisi marah tersebut, niscaya marahnya akan reda seketika, manakala merasa malu melihat raut wajahnya yang jelek dan (merasa) mustahil bentuk rupanya akan sedemikian.

Berpindah dari kondisi saat dia marah kepada kondisi yang lain, sebab marah akan hilang dengan sendirinya melalui perubahan kondisi dan perpindahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lain.

Hendaknya seorang hamba ber-ta’awwudz (berlindung) kepada Allah dari as-syaithan ar-rajîm, sebab apabila seorang muslim berta’awwuz (kepada Allah) darinya, dia akan bersungut kerdil. Indikasinya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy bahwasanya ada dua orang yang saling mencaci-maki di sisi Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, yakni salah seorang di antara keduanya mencaci yang lainnya dan rona marah telah terpancar dari wajahnya, lalu beliau n bersabda, artinya: “Sesungguhnya aku mengetahui suatu ucapan yang jikalau dia mengucapkannya pasti dia akan dapat menghilangkan apa yang dia dapati (alami saat ini-red) ; yakni bila dia mengucapkan: ‘ A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm’ “.

Renungan

Seorang Mukmin tentu amat menginginkan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini, si penanya dalam hadits yang kita bahas ini memanfaatkan keberadaannya di sisi Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yakni memintanya untuk memberikan nashihat yang dapat menjadi lentera baginya dalam menjalani seluruh sisa hidupnya.

Maka, tentunya kita dewasa ini, alhamdulilah, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyediakan untuk kita para ulama dan da’i, karenanya kita mesti berupaya seoptimal mungkin agar dapat memanfaatkan majlis-majlis, nashihat-nashihat serta petunjuk-petunjuk mereka.

(disadur dari Dirâsât hadîtsiyyah karya Syaikh Nâshir asy-Syimâliy, berjudul asli “Lâ taghdlab” oleh Abu Hafshoh)


Kamis, 25 Juni 2009

BUTIR-BUTIR NASEHAT IBNUL QAYYIM AL JAUZI

Pengantar:
Allamah al Hafidz Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah (wafat 751 H) adalah salah seorang ulama murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau bersama gurunya gigih dalam menda'wahkan sunnah yang mulia, yaitu diinul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wassalam dan para shahabatnya. Dalam perjuangannya beliau sempat dipenjara. Butir-butir nasehat ini diambil dari karya beliau "Al Fawaa'id".


1. Barangsiapa yang tidak kerasan bersama Allah di tengah-tengah manusia dan betah dengan-Nya ketika sendirian dan sepi, maka ia seorang jujur yang lemah. Barangsiapa yang betah dengan-Nya di tengah-tengah manusia namun tidak kerasan saat sendirian, maka dia sakit. Barangsiapa yang tidak merasa betah dengan Allah disaat banyak orang dan di kala sendirian, berarti ia adalah bangkai yang harus disingkirkan. Dan, barangsiapa yang betah dan tenteram bersama Allah dikala sendirian dan ditengah-tengah orang banyak, maka dia adalah seorang jujur yang kuat dalam setiap keadaan.

2. "Lentera" hati yang bersih pada asal fitrahnya, bersinar sebelum datangnya syari'at yang "minyaknya" nyaris menyala sekalipun tidak disentuh api.

3. Dunia bagaikan seorang wanita pelacur. Dia selalu berganti-ganti pasangan. Ia menyambut semua pria supaya mereka menganggap dirinya orang baik yang tidak rela terhadap sikap ketidakadaan rasa cemburu terhadap keluarga.

4. Berenang di "sungai" dunia sama dengan berenang di kolam buaya.

5. Orang yang bersuka ria karena dunia, sebenarnya orang yang berduka cita. Kepedihan dan duka citanya lahir dari kenikmatannya, dan kesusahannya lahir dari kegembiraan dengannya.

6. Mata perangai melihat biji (isi), sedangkan maya akal melihat perangkap, dan mata hawa nafsu adalah buta.

7. Ketika orang-orang yang mendapat taufiq mengetahui nilai kehidupan dunia dan kecilnya kedudukan didalamnya, maka mereka membunuh nafsu keinginan terhadap dunia dalam rangka mencari kehidupan abadi.

8. Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib berpaling dari hawa nafsu yang berhias diri dihadapan mata tabiat insani. Merekalah yang disebutkan didalam Al Qur'an:

"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah
orang-orang yang beruntung" (QS Al Baqarah: 5)

Sedang mereka yang tergoda, terjebak pada gurun penyesalan. Kepada mereka dikatakan:

"Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (didunia dalam waktu) yang pendek,
sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang berdosa" (QS Al Mursalat: 46)

9. Bila akalmu keluar dari cengkeraman hawa nafsu, maka ia akan kembali berkuasa.

10. Bila datang pandangan tidak halal, maka ketahuilah sesungguhnya dia menyalakan api peperangan. Karenanya, gunakanlah selimut "ghadhul bashor" (menundukkan/menjaga pandangan, ed.) sesuai dengan perintah Allah berikut:

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya..." (QS An Nur : 30)

Dengannya, engkau pasti selamat darinya.

11. "Samudra" hawa nafsu jika tidak dibendung, ia akan menenggelamkanmu.

12. Andai ilmu bermanfaat tanpa amal, tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mencela para pendeta ahli kitab, dan jika amal bermanfaat tanpa ikhlas, tentu Allah 'Azza wa Jalla tidak mencerca orang-orang munafik.

Sumber: "Pesan-pesan Spiritual Ibnul Qayyim", Gema Insani Press, Jakarta 1999.


30 Kiat Menuntut Ilmu

Apabila telah tampak tanda-tanda tamyiz pada seorang anak, maka selayaknya dia mendapatkan perhatian sesrius dan pengawasan yang cukup. Sesungguhnya hatinya bagaikan bening mutiara yang siap menerima segala sesuatu yang mewarnainya. Jika dibiasakan dengan hal-hal yang baik, maka ia akan berkembang dengan kebaikan, sehingga orang tua dan pendidiknya ikut serta memperoleh pahala.

Sebaliknya, jika ia dibiasakan dengan hal-hal buruk, maka ia akan tumbuh dengan keburukan itu. Maka orang tua dan pedidiknya juga ikut memikul dosa karenanya.


Oleh karena itu, tidak selayaknya orang tua dan pendidik melalaikan tanggung jawab yang besar ini dengan melalaikan pendidikan yang baik dan penanaman adab yang baik terhadapnya sebagai bagian dari haknya. Di antara adab-adab dan kiat dalam mendidik anak adalah sebagai berikut:

* Hendaknya anak dididik agar makan dengan tangan kanan, membaca basmalah, memulai dengan yang paling dekat dengannya dan tidak mendahului makan sebelum yang lainnya (yang lebih tua, red). Kemudian cegahlah ia dari memandangi makanan dan orang yang sedang makan.

* Perintahkan ia agar tidak tergesa-gesa dalam makan. Hendaknya mengunyahnya dengan baik dan jangan memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum habis yang di mulut. Suruh ia agar berhati-hati dan jangan sampai mengotori pakaian.

* Hendaknya dilatih untuk tidak bermewah-mewah dalam makan (harus pakai lauk ikan, daging dan lain-lain) supaya tidak menimbulkan kesan bahwa makan harus dengannya. Juga diajari agar tidak terlalu banyak makan dan memberi pujian kepada anak yang demikian. Hal ini untuk mencegah dari kebiasaan buruk, yaitu hanya memen-tingkan perut saja.

* Ditanamkan kepadanya agar mendahulukan orang lain dalam hal makanan dan dilatih dengan makanan sederhana, sehingga tidak terlalu cinta dengan yang enak-enak yang pada akhirnya akan sulit bagi dia melepaskannya.

* Sangat disukai jika ia memakai pakaian berwarna putih, bukan warna-warni dan bukan dari sutera. Dan ditegaskan bahwa sutera itu hanya untuk kaumwanita.

* Jika ada anak laki-laki lain memakai sutera, maka hendaknya mengingkarinya. Demikian juga jika dia isbal (menjulurkan pakaiannya hingga melebihi mata kaki). Jangan sampai mereka terbiasa dengan hal-hal ini.

* Selayaknya anak dijaga dari bergaul dengan anak-anak yang biasa bermegah-megahan dan bersikap angkuh. Jika hal ini dibiarkan maka bisa jadi ketika dewasa ia akan berakhlak demikian. Pergaulan yang jelek akan berpengaruh bagi anak. Bisa jadi setelah dewasa ia memiliki akhlak buruk, seperti: Suka berdusta, mengadu domba, keras kepala, merasa hebat dan lain-lain, sebagai akibat pergaulan yang salah di masa kecilnya. Yang demikian ini, dapat dicegah dengan memberikan pendidikan adab yang baik sedini mungkin kepada mereka.

* Harus ditanamkan rasa cinta untuk membaca al Qur’an dan buku-buku, terutama di perpustakaan. Membaca al Qur’an dengan tafsirnya, hadits-hadits Nabi n dan juga pelajaran fikih dan lain-lain. Dia juga harus dibiasakan menghafal nasihat-nasihat yang baik, sejarah orang-orang shalih dan kaum zuhud, mengasah jiwanya agar senantiasa mencintai dan menela-dani mereka. Dia juga harus diberitahu tentang buku dan faham Asy’ariyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan juga kelompok-kelompok bid’ah lainnya agar tidak terjerumus ke dalamnya. Demikian pula aliran-aliran sesat yang banyak ber-kembang di daerah sekitar, sesuai dengan tingkat kemampuan anak.

* Dia harus dijauhkan dari syair-syair cinta gombal dan hanya sekedar menuruti hawa nafsu, karena hal ini dapat merusak hati dan jiwa.

* Biasakan ia untuk menulis indah (khath) dan mengahafal syair-syair tentang kezuhudan dan akhlak mulia. Itu semua menunjukkan kesempurnaan sifat dan merupakan hiasan yang indah.

* Jika anak melakukan perbuatan terpuji dan akhlak mulia jangan segan-segan memujinya atau memberi penghargaan yang dapat membahagia-kannya. Jika suatu kali melakukan kesalahan, hendaknya jangan disebar-kan di hadapan orang lain sambil dinasihati bahwa apa yang dilakukannya tidak baik.

* Jika ia mengulangi perbuatan buruk itu, maka hendaknya dimarahi di tempat yang terpisah dan tunjukkan tingkat kesalahannya. Katakan kepadanya jika terus melakukan itu, maka orang-orang akan membenci dan meremehkannya. Namun jangan terlalu sering atau mudah memarahi, sebab yang demikian akan menjadikannya kebal dan tidak terpengaruh lagi dengan kemarahan.

* Seorang ayah hendaknya menjaga kewibawaan dalam ber-komunikasi dengan anak. Jangan menjelek-jelekkan atau bicara kasar, kecuali pada saat tertentu. Sedangkan seorang ibu hendaknya menciptakan perasaan hormat dan segan terhadap ayah dan memperingatkan anak-anak bahwa jika berbuat buruk maka akan mendapat ancaman dan kemarahan dari ayah.

* Hendaknya dicegah dari tidur di siang hari karena menyebabkan rasa malas (kecuali benar-benar perlu). Sebaliknya, di malam hari jika sudah ingin tidur, maka biarkan ia tidur (jangan paksakan dengan aktivitas tertentu, red) sebab dapat menimbulkan kebosanan dan melemahnya kondisi badan.

* Jangan sediakan untuknya tempat tidur yang mewah dan empuk karena mengakibatkan badan menjadi terlena dan hanyut dalam kenikmatan. Ini dapat mengakibatkan sendi-sendi menjadi kaku karena terlalu lama tidur dan kurang gerak.

* Jangan dibiasakan melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, sebab ketika ia melakukannya, tidak lain karena adanya keyakinan bahwa itu tidak baik.

* Biasakan agar anak melakukan olah raga atau gerak badan di waktu pagi agar tidak timbul rasa malas. Jika memiliki ketrampilan memanah (atau menembak, red), menunggang kuda, berenang, maka tidak mengapa menyi-bukkan diri dengan kegiatan itu.

* Jangan biarkan anak terbiasa melotot, tergesa-gesa dan bertolak (berkacak) pinggang seperti perbuatan orang yang membangggakan diri.

* Melarangnya dari membangga-kan apa yang dimiliki orang tuanya, pakaian atau makanannya di hadapan teman sepermainan. Biasakan ia ber-sikap tawadhu’, lemah lembut dan menghormati temannya.

* Tumbuhkan pada anak (terutama laki-laki) agar tidak terlalu mencintai emas dan perak serta tamak terhadap keduanya. Tanamkan rasa takut akan bahaya mencintai emas dan perak secara berlebihan, melebihi rasa takut terhadap ular atau kalajengking.

* Cegahlah ia dari mengambil sesuatu milik temannya, baik dari keluarga terpandang (kaya), sebab itu merupakan cela, kehinaan dan menurunkan wibawa, maupun dari yang fakir, sebab itu adalah sikap tamak atau rakus. Sebaliknya, ajarkan ia untuk memberi karena itu adalah perbuatan mulia dan terhormat.

* Jauhkan dia dari kebiasaan meludah di tengah majlis atau tempat umum, membuang ingus ketika ada orang lain, membelakangi sesama muslim dan banyak menguap.

* Ajari ia duduk di lantai dengan bertekuk lutut atau dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan yang kiri atau duduk dengan memeluk kedua punggung kaki dengan posisi kedua lutut tegak. Demikian cara-cara duduk yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam.

* Mencegahnya dari banyak berbicara, kecuali yang bermanfaat atau dzikir kepada Allah.

* Cegahlah anak dari banyak bersumpah, baik sumpahnya benar atau dusta agar hal tersebut tidak menjadi kebiasaan.

* Dia juga harus dicegah dari perkataan keji dan sia-sia seperti melaknat atau mencaci maki. Juga dicegah dari bergaul dengan orang-orang yang suka melakukan hal itu.

* Anjurkanlah ia untuk memiliki jiwa pemberani dan sabar dalam kondisi sulit. Pujilah ia jika bersikap demikian, sebab pujian akan mendorongnya untuk membiasakan hal tersebut.

* Sebaiknya anak diberi mainan atau hiburan yang positif untuk melepaskan kepenatan atau refreshing, setelah selesai belajar, membaca di perpustakaan atau melakukan kegiatan lain.

* Jika anak telah mencapai usia tujuh tahun maka harus diperintahkan untuk shalat dan jangan sampai dibiarkan meninggalkan bersuci (wudhu) sebelumnya. Cegahlah ia dari berdusta dan berkhianat. Dan jika telah baligh, maka bebankan kepadanya perintah-perintah.

* Biasakan anak-anak untuk bersikap taat kepada orang tua, guru, pengajar (ustadz) dan secara umum kepada yang usianya lebih tua. Ajarkan agar memandang mereka dengan penuh hormat. Dan sebisa mungkin dicegah dari bermain-main di sisi mereka (mengganggu mereka).

Demikian adab-adab yang berkaitan dengan pendidikan anak di masa tamyiz hingga masa-masa menjelang baligh. Uraian di atas adalah ditujukan bagi pendidikan anak laki-laki. Walau demikian, banyak di antara beberapa hal di atas, yang juga dapat diterapkan bagi pendidikan anak perempuan. Wallahu a’lam.

Dari mathwiyat Darul Qasim “tsalasun wasilah li ta’dib al abna’’” asy Syaikh Muhammad bin shalih al Utsaimin rahimahullah.


74 Wasiat Untuk Para Pemuda

Berikut ini adalah wasiat islami yang berharga dalam berbagai aspek seperti ibadah, muamalah, akhlak, adab dan yang lainnya dari sendi-sendi kehidupan. Kami persembahkan wasiat ini sebagai peringatan kepada para pemuda muslim yang senantiasa bersemangat mencari apa yang bermanfaat baginya, dan sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan hal ini bermanfaat bagi orang yang membacanya ataupun mendengarkannya. Dan agar memberikan pahala yang besar bagi penyusunnya, penulisnya, yang menyebarkannya ataupun yang mengamalkannya. Cukuplah bagi kita Allah sebaik-baik tempat bergantung.

1. Ikhlaskanlah niat kepada Allah dan hati-hatilah dari riya’ baik dalam perkataan ataupun perbuatan.

2. Ikutilah sunnah Nabi dalam semua perkataan, perbuatan, dan akhlak.

3. Bertaqwalah kepada Allah dan ber’azamlah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

4. Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nashuha dan perbanyaklah istighfar.

5. Ingatlah bahwa Allah senatiasa mengawasi gerak-gerikmu. Dan ketahuilah bahwa Allah melihatmu, mendengarmu dan mengetahui apa yang terbersit di hatimu.

6. Berimanlah kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta qadar yang baik ataupun yang buruk.

7. Janganlah engkau taqlid (mengekor) kepada orang lain dengan buta (tanpa memilih dan memilah mana yang baik dan yang buruk serta mana yang sesuai dengan sunnah/syari’at dan mana yang tidak). Dan janganlah engkau termasuk orang yang tidak punya pendirian.

8. Jadilah engkau sebagai orang pertama dalam mengamalkan kebaikan karena engkau akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikuti/mencontohmu dalam mengamalkannya.

9. Peganglah kitab Riyadlush Shalihin, bacalah olehmu dan bacakan pula kepada keluargamu, demikian juga kitab Zaadul Ma’ad oleh Ibnul Qayyim.

10. Jagalah selalu wudlu’mu dan perbaharuilah. Dan jadilah engkau senantiasa dalam keadaan suci dari hadats dan najis.

11. Jagalah selalu shalat di awal waktu dan berjamaah di masjid terlebih lagi sahalat ‘Isya dan Fajr (shubuh).

12. Janganlah memakan makanan yang mempunyai bau yang tidak enak seperti bawang putih dan bawang merah. Dan janganlah merokok agar tidak membahayakan dirimu dan kaum muslimin.

13. Jagalah selalu shalat berjamaah agar engkau mendapat kemenangan dengan pahala yang ada pada shalat berjamaah tersebut.

14. Tunaikanlah zakat yang telah diwajibkan dan janganlah engkau bakhil kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

15. Bersegeralah berangkat untuk shalat Jumat dan janganlah berlambat-lambat sampai setelah adzan kedua karena engkau akan berdosa.

16. Puasalah di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah agar Allah mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu ataupun yang akan datang.

17. Hati-hatilah dari berbuka di siang hari di bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i sebab engkau akan berdosa karenanya.

18. Tegakkanlah shalat malam (tarawih) di bulan Ramadhan terlebih-lebih pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah agar engkau mendapatkan ampunan atas dosa-dosamu yang telah lalu.

19. Bersegeralah untuk haji dan umrah ke Baitullah Al-Haram jika engkau termasuk orang yang mampu dan janganlah menunda-nunda.

20. Bacalah Al-Qur’an dengan mentadaburi maknanya. Laksanakanlah perintahnya dan jauhi larangannya agar Al-Qur’an itu menjadi hujjah bagimu di sisi rabmu dan menjadi penolongmu di hari qiyamat.

21. Senantiasalah memperbanyak dzikir kepada Allah baik perlahan-lahan ataupun dikeraskan, apakah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring. Dan hati-hatilah engkau dari kelalaian.

22. Hadirilah majelis-majelis dzikir karena majelis dzikir termasuk taman surga.

23. Tundukkan pandanganmu dari aurat dan hal-hal yang diharamkan dan hati-hatilah engkau dari mengumbar pandangan, karena pandangan itu merupakan anak panah beracun dari anak panah Iblis.

24. Janganlah engkau panjangkan pakaianmu melebihi mata kaki dan janganlah engkau berjalan dengan kesombongan/keangkuhan.

25. Janganlah engkau memakai pakaian sutra dan emas karena keduanya diharamkan bagi laki-laki.

26. Janganlah engkau menyeruapai wanita dan janganlah engkau biarkan wanita-wanitamu menyerupai laki-laki.

27. Biarkanlah janggutmu karena Rasulullah: “Cukurlah kumis dan panjangkanlah janggut.” (HR. Bukhari Dan Muslim)

28. Janganlah engkau makan kecuali yang halal dan janganlah engkau minum kecuali yang halal agar doamu diijabah.

29. Ucapkanlah "bismillah" ketika engkau hendak makan dan minum dan ucapkanlah "alhamdulillah" apabila engkau telah selesai.

30. Makanlah dengan tangan kanan, minumlah dengan tangan kanan, ambillah dengan tangan kanan dan berilah dengan tangan kanan.

31. Hati-hatilah dari berbuat kezhaliman karena kezhaliman itu merupakan kegelapan di hari kiamat.

32. Janganlah engkau bergaul kecuali dengan orang mukmin dan janganlah dia memakan makananmu kecuali engkau dalam keadaan bertaqwa (dengan ridla dan memilihkan makanan yang halal untuknya).

33. Hati-hatilah dari suap-menyuap (kolusi), baik itu memberi suap, menerima suap ataupun perantaranya, karena pelakunya terlaknat.

34. Janganlah engkau mencari keridlaan manusia dengan kemurkaan Allah karena Allah akan murka kepadamu.

35. Ta’atilah pemerintah dalam semua perintah yang sesuai dengan syari’at dan doakanlah kebaikan untuk mereka.

36. Hati-hatilah dari bersaksi palsu dan menyembunyikan persaksian.

“Barangsiapa yang menyembunyikan persaksiannya maka hatinya berdosa. Dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 283)
37. “Dan ber amar ma’ruf nahi munkarlah serta shabarlah dengan apa yang menimpamu.” (Luqman: 17)
Ma’ruf adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya , dan munkar adalah apa-apa yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.

38. Tinggalkanlah semua hal yang diharamkan baik yang kecil ataupun yang besar dan janganlah engkau bermaksiat kepada Allah dan janganlah membantu seorangpun dalam bermaksiat kepada-Nya.

39. Janganlah engkau dekati zina. Allah berfirman: “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah kekejian dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra’:32)

40. Wajib bagimu berbakti kepada orang tua dan hati-hatilah dari mendurhakainya.

41. Wajib bagimua untuk silaturahim dan hati-hatilah dari memutuskan hubungan silaturahim.

42. Berbuat baiklah kepada tetanggamu dan janganlah menyakitinya. Dan apabila dia menyakitimu maka bersabarlah.

43. Perbanyaklah mengunjungi orang-orang shalih dan saudaramu di jalan Allah.

44. Cintalah karena Allah dan bencilah juga karena Allah karena hal itu merupakan tali keimanan yang paling kuat.

45. Wajib bagimu untuk duduk bermajelis dengan orang shalih dan hati-hatilah dari bermajelis dengan orang-orang yang jelek.

46. Bersegeralah untuk memenuhi hajat (kebutuhan) kaum muslimin dan buatlah mereka bahagia.

47. Berhiaslah dengan kelemahlembutan, sabar dan teliti. Hatilah-hatilah dari sifat keras, kasar dan tergesa-gesa.

48. Janganlah memotong pembicaraan orang lain dan jadilah engkau pendengar yang baik.

49. Sebarkanlah salam kepada orang yang engkau kenal ataupun tidak engkau kenal.

50. Ucapkanlah salam yang disunahkan yaitu "assalamualaikum" dan tidak cukup hanya dengan isyarat telapak tangan atau kepala saja.

51. Janganlah mencela seorangpun dan mensifatinya dengan kejelekan.

52. Janganlah melaknat seorangpun termasuk hewan dan benda mati.

53. Hati-hatilah dari menuduh dan mencoreng kehormatan oarng lain karena hal itu termasuk dosa yang paling besar.

54. Hati-hatilah dari namimah (mengadu domba), yakni menyampaikan perkataan di antara manusia dengan maksud agar terjadi kerusakan di antara mereka.

55. Hati-hatilah dari ghibah, yakni engkau menceritakan tentang saudaramu apa-apa yang dia benci jika mengetahuinya.

56. Janganlah engkau mengagetkan, menakuti dan menyakiti sesama muslim.

57. Wajib bagimu melakukan ishlah (perdamaian) di antara manusia karena hal itu merupakan amalan yang paling utama.

58. Katakanlah hal-hal yang baik, jika tidak maka diamlah.

59. Jadilah engkau orang yang jujur dan janganlah berdusta karena dusta akan mengantarkan kepada dosa dan dosa mengantarakan kepada neraka.

60. Janganlah engkau bermuka dua. Datang kepada sekelompok dengan satu wajah dan kepada kelompok lain dengan wajah yang lain.

61. Janganlah bersumpah dengan selain Allah dan janganlah banyak bersumpah meskipun engkau benar.

62. Janganlah menghina orang lain karena tidak ada keutamaan atas seorangpun kecuali dengan taqwa.

63. Janganlah mendatang dukun, ahli nujum serta tukang sihir dan jangan membenarkan (perkataan) mereka.

64. Janganlah menggambar gambar manuasia dan binatang. Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah tukang gambar.

65. Janganlah menyimpan gambar makhluk yang bernyawa di rumahmu karena akan menghalangi malaikat untuk masuk ke rumahmu.

66. Tasymitkanlah orang yang bersin dengan membaca: "yarhamukallah" apabila dia mengucapkan: "alhamdulillah"

67. Jauhilah bersiul dan tepuk tangan.

68. Bersegeralah untuk bertaubat dari segala dosa dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan karena kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan hati-hatilah dari menunda-nunda.

69. Berharaplah selalu akan ampunan Allah serta rahmat-Nya dan berbaik sangkalah kepada Allah .

70. Takutlah kepada adzab Allah dan janganlah merasa aman darinya.

71. Bersabarlah dari segala mushibah yang menimpa dan bersyukurlah dengan segala kenikamatan yang ada.

72. Perbanyaklah melakukan amal shalih yang pahalanya terus mengalir meskipun engkau telah mati, seperti membangun masjid dan menyebarakan ilmu.

73. Mohonlah surga kepada Allah dan berlindunglah dari nereka.

74. Perbanyaklah mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah.
Shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan kepadanya sampai hari kiamat juga kepada keluarganya dan seluruh shahabatnya.

(Diterjemahkan dari buletin berjudul 75 Washiyyah li Asy-Syabab terbitan Daarul Qashim Riyadl-KSA oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)


Rabu, 24 Juni 2009

Menghindari Hutang

Berhutang adalah suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun, karena adakalanya setiap manusia memiliki kebutuhan yang mendesak, sementara tidak ada uang tunai atau kekayaan yang bisa dijadikan sebagai alat pembayaran. Bahkan berhutang pun adalah cara untuk mendapatkan kebutuhan pokok yang tidak bisa kita bayar sekaligus, tapi bisa kita dapatkan dengan cara mencicilnya seperti mencicil rumah, kendaraan dan sebagainya. Dalam dunia bisnis pun berhutang menjadi sesualu yang lumrah.

Dalam ajaran Islam berhutang adalah mu’amalah yang dibolehkan karena Rasul pun pernah berhutang semasa hidupnya, bahkan beliau pernah berhutang kepada sorang Yahudi. Namun walau berhutang dibolehkan, tapi tidak selayaknya seorang muslim menggampang-gampang untuk berhutang, namun hendaknya seseorang berhutang pada kebutuhan-kebutuhan yang mendesak saja karena banyaknya hutang akan membuat hidup seseorang menjadi sempit dan kehormatan menjadi rusak, serta apabila meninggal dan hutangnya belum terbayar, maka pahalanya akan ditangguhkan hingga hutangnya terlunasi.

Untuk mengantisipasi hal itu maka disyariatakan saat berhutang untuk membuat perjanjian yang tertulis dan disaksikan oleh dua orang saksi tentang jumlah hutang dan waktu pengembaliannya hingga dapat mengantisipasi persengketaan dan masalah yang dilain dikemudian hari, sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)…” (QS. Al-Baqarah: 282)

Di samping itu, hendaklah orang yang berhutang segera melunasi hutangnya manakala dia memiliki kemampuan untuk membayarnya dan tidak menangguh-tangguhkan pembayaran karena penangguhan pembayaran hutang bagi orang yang mampu membayarnya adalah sebuah kezhaliman. Adapun jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:

Agar Anda terhindar dari jerat hutang dan tidak menyesal karenanya, praktikkanlah nasihat-nasihat di bawah ini:

Renungkanlah selalu hadits-hadits tentang akibat hutang

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi seorang laki-laki (yang meninggal dunia) untuk dishalatkan, maka beliau bersabda, artinya:"Shalatkanlah teman kalian, karena sesung-guhnya dia memiliki hutang." Dalam riwayat lain disebutkan: "Apakah teman kalian ini memiliki hutang? Mereka menjawab, 'Ya, dua dinar'. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mundur seraya bersabda, 'Shalatkanlah teman kalian!' Lalu Abu Qatadah berkata, 'Hutang-nya menjadi tanggunganku'. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Penuhilah (janjimu)!, lalu beliau menshalatkannya." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena hutangnya, sampai ia dibayarkan." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).

Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua dosa orang yang mati syahid diampuni, kecuali hutang." (HR. Muslim).

"Demi jiwaku yang ada di TanganNya, seandainya ada seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian ia dihidupkan lagi, lalu terbunuh lagi, kemudian dihidupkan lagi dan terbunuh lagi, sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tidak akan masuk Surga sampai hutangnya dibayarkan." (HR. An-Nasa'i, hasan).

Jangan berhutang kecuali karena terpaksa

Pada kenyataannya, banyak orang yang berhutang misalkan untuk bisa merayakan lebaran layaknya orang kaya, untuk bisa menyelenggarakan pesta perni-kahan dengan mewah, untuk bisa memiliki gaya hidup modern, misalnya dengan kredit mobil, rumah mewah, perabotan-perabotam mahal dsb. Lebih ironi lagi, ada yang hutang untuk selamatan keluarganya yang meninggal karena malu kepada para tetangga jika tidak mengadakannya, atau jika makanannya terlalu sederhana.

Aisyah berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tempo dan beliau memberi jaminan baju besi kepadanya." (HR. Al-Bukhari).

Ibnul Munir berkata, 'Artinya, seandainya beliau shallallahu 'alaihi wasallam ketika itu memiliki uang kontan, tentu beliau tidak mengakhirkan pembayarannya. (Lihat, Fathul Bari, 5/53).

Bertaqwalah kepada Allah sebelum dan ketika berhutang.

Allah berfirman: "Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka akan diberikan kemudahan urusannya." (Ath-Thalaq: 4).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Barangsiapa mengambil harta orang (berhutang) dan ia ingin membayarnya, niscaya Allah akan menunaikannya dan barangsiapa berhutang dengan niat menghilangkannya (tidak membayar), niscaya Allah membuatnya binasa. " (HR. Al-Bukhari). "Siapa yang meminjam dan sengaja untuk tidak membayarnya, niscaya ia menemui Allah dalam keadaan sebagai pencuri." (Shahih Ibnu Majah, no. 1954, 2/52).

Hutang adalah kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari

Banyak orang menyembunyikan diri dari pandangan manusia karena takut bertemu dengan orang yang menghutanginya. Karena itu dianjurkan bagi yang menghutangi untuk meringankannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meringankan hutang orang yang dihutanginya atau membebaskannya maka ia berada di bawah naungan 'Arasy pada hari Kiamat." (HR. Muslim).

Jangan tertipu oleh promosi dan iklan bank

Bank-bank selalu mengiklankan agar orang melakukan transaksi keuangannya dengan jasa bank. Di antaranya, juga promosi mendapatkan kredit secara mudah. Hal itu karena hasil bank-bank ribawi adalah dari prosentasi bunga uang yang dipinjamkannya. Semakin lama masa pinjaman seseorang semakin besar pula keuntungan yang diraup bank, itulah yang dikehendaki bank. Dan itulah hakikat riba, Allah berfirman, artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Ali Imran: 130).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang dan dia mengetahuinya lebih berat (dosanya) dari-pada 36 kali berzina." (HR. Ahmad, di- shahih-kan oleh Al-Albani).

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sungguh telah melaknat pemakan riba, pemberi riba, penulis dan kedua saksi atasnya. Beliau bersabda, 'Mereka itu sama saja'." (HR. Muslim).

Dalam mu'amalah ribawi, bank selalu mengeruk keuntungan, sedangkan peminjam bisa saja sewaktu-waktu merugi. Adapun banyaknya bank ribawi yang bangkrut, padahal secara matematis selalu untung maka hal itu adalah bukti kebenaran firman Allah: "Allah memusnahkan (membangkrutkan) riba dan mengembangkan sedekah." (Al-Baqarah: 276).

Pemakaian kartu kredit

Di zaman supra modern ini banyak bertebaran kartu kredit. Pemiliknya bisa membeli apa saja, karena perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit itu menjamin membayarnya. Secara lahiriah, pelayanan tersebut adalah rahmat, praktis dan sangat memanjakan. Tetapi ingat, jika mengakhirkan pembayaran untuk beberapa lama maka hutangnya akan menumpuk ditam-bah bunganya. Belum lagi pemilik kartu kredit akan selalu keranjingan untuk berbelanja hingga barang-barang yang tidak perlu sekalipun. Lalu, jika ia tidak segera membayarnya, maka ia akan terperosok ke dalam riba. Na'udzubillah.

Hindari membeli secara kredit

Kini membeli barang-barang secara kredit seperti sudah menjadi simbol zaman ini. Padahal ia adalah fenomena yang salah. Orang yang telah membeli secara kredit apalagi dengan nilai nominal yang tinggi- kelak akan menyesal. Sebab misalnya, orang yang membeli mobil secara kredit, dia akan membayar kira-kira dua kali lipat dari harga biasanya. Dan semakin lama masa kreditnya semakin berlipat pula yang harus ia bayar.

Jangan termakan oleh paham yang menyesatkan

Sebagian orang ada yang berpendapat, orang yang tidak memiliki hutang adalah orang yang diragukan kejantanannya. Bahkan mereka mengolok-olok kawannya yang memiliki hutang sedikit. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, berkata: "Tidak diragukan lagi, ini adalah keliru. Bahkan hina tidaknya seseorang tergantung pada hutangnya. Siapa yang tidak memiliki hutang maka dia adalah orang mulia dan siapa yang memiliki hutang maka dialah orang yang hina. Karena sewaktu-waktu orang yang menghutanginya bisa menuntut dan memenjarakannya. Ia adalah orang yang sakit dan menginginkan semua orang sakit seperti dirinya. Karena itu, orang yang berakal tidak perlu mem-pedulikannya."

Berlindung kepada Allah dari tidak bisa mem-bayar hutang

Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam memperbanyak do'a: "Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalas-an, dari sifat pengecut dan bakhil serta dari tidak mampu membayar hutang dan dari penguasaan orang lain." (HR. Al-Bukhari).

Dari Aisyah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalatnya berdo'a: "Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari dosa dan hutang." Maka seseorang bertanya, 'Wahai Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari hutang? Maka beliau menjawab, 'Sesungguhnya bila seseorang itu berhutang akan berdusta dan berjanji tetapi ia pungkiri.' (Fathul Bari, 5/61).

Muliakanlah tamu tanpa berlebihan

Sebagian orang begitu sangat memuliakan tamunya. Mereka berusaha untuk membeli berbagai makanan untuk menjamu tamunya tersebut, meski terkadang dengan menghutang. Syari'at Islam mengajarkan agar kita memuliakan tamu, tetapi juga menekankan untuk tidak boros. Allah berfirman, artinya: "Dan janganlah kalian berlebih-lebihan (boros), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."(Al-An'am: 141).

Jangan membebani diri melebihi kemampuan

Sebagian orang ada yang memaksakan diri, misalnya pergi haji dengan menjual rumah atau sawah tempat penghasilannya sehari-hari, sehingga sekembali dari haji ia menjadi orang yang terlunta-lunta dan sengsara. Padahal Allah berfirman, artinya: "Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya." (Al-Baqarah: 286). Bahkan dalam masalah haji, secara khusus Allah berfirman, artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu atas orang-orang yang mampu melakukan perjalanan ke Baitullah." (Ali Imran: 97).

Mempertimbangkan untung-rugi sebelum berusaha

Sebagian orang begitu melihat kawannya sukses dengan usaha tertentu serta merta ia terjun di bidang yang sama. Tidak diragukan lagi bahwa semua ada dalam taqdir Allah, tetapi membuka usaha tanpa pertimbangan matang adalah salah satu sebab kerugian dan terjerat hutang.

Program membayar pinjaman

Di antara hal yang membantu menyelesaikan hutang adalah membayarnya secara berkala. Bayarlah pinjaman itu berangsur dan jangan menganggap remeh karena sedikit yang dibayarkan. Hal ini insya Allah akan membantu menyelesaikan hutang secepatnya. (ain).

Disadur dari kitab Hatta La Taghriq Fid Duyun, Adil Muhammad Alu Abdil Ali.

* untuk download materi di atas dalam format pdf, silahkan klik di sini *


I F F A H

Iffah adalah usaha memelihara dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak halal, makruh dan tercela.
Hal-hal yang dapat menumbuhkan iffah antara lain :

Pertama: Iman dan Taqwa

Inilah asas yang paling fundamental di dalam memelihara diri dari segala hal yang tercela. Jiwa yang terpateri oleh iman dan taqwa merupakan modal yang paling utama untuk membentengi diri dari hal-hal yang dibenci oleh Allah dan RasulNya. Allah membrikan jaminan kepada orang-orang yang amal solehnya didasari oleh iman dengan kehidupan yang baik, "Barang siapa mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia orang beriman, maka sesungguhnya kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (An Nahl: 97)


Lalu terhadap orang beriman yang taqwa Allah mmberikan AlFurqan, yaitu petunjuk yang dapat membedakan antara Al Haq dengan Al Bathil. "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Al Furqan dan menghapuskan segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu." (Al Anfal: 29)

Dan manakala iman dan taqwa dalam jiwa seorang muslim telah rapuh, maka itulah pertanda mudahnya dirinya terjebak dalam kesesatan dan perbuatan tercela. Maka memelihara dan memupuk iman ini merupakan kewajiban yang harus mendapatkan prioritas utama.

Kedua: Nikah

Inilah salah satu rambu jalan yang jelas menuju kesucian diri. Bahkan nikah adalah sarana yang paling baik dan paling afdhol untuk menumbuhkan sikap iffah pada diri seorang muslim. Nikah adalah sesuatu yang fithri pada diri seorang muslim, di mana padanya Allah menjadikan rasa cinta serta kasih sayang dan kedamaian. "Dan di antara kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang." (Ar Rum: 21).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda: "
"Hai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena hal itu lebih (dapat) menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu dapat mengobatinya." (Muttafaq Alaih)

Dalam hadits lain beliau bersabda:
"Apabila seorang hamba telah menikah, maka ia telah menyempurnakan setengah agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padayang setengah lagi." (HR. Al Baihaqy, shohih)

Ayat dan hadits-hadits tadi merupakan nash-nash yang jelas mendorong untuk nikah, di mana ketenteraman hati, cinta dan kasih sayang dapat diraih oleh seorang muslim. Dan yang lebih utama lagi adalah bahwa nikah merupakan sarana yang dapat memelihara pandangan dan kehormatan diri seetiap muslim.
Ketiga: Rasa Malu

Malu adalah akhlak indah dan terpuji. Malu adalah sifat yang sempurna dan perhiasan yang anggun. Terlebih indah jika malu ini menghiasi seorang muslimah. Sifat malu selalu tumbuh dalam sikap yang baik dan memadamkan keinginan untuk berbuat tercela. Allah telah mentakdirkan sifat malu ini hanya ada pada manusia untuk membedakannya dengan hewan. Malu adalah potret pribadi yang agung dan terpuji.

Tentang keutamaan malu ini Rasulullah Shallalhu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Malu dan iman adalah bersaudara, maka jika salah satu dari keduanya itu dicabut, tercabut pulalah yang lainnya." (HR. Al Hakim, shohih)

"Sesungguhnya setiap agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam adalah rasa malu." (HR. Malik, Ibnu Majah, Al Hakim, shohih)


Adab Tilawah Qur-an

Qira-at menurut bahasa adalah bentuk jamak dari qira-ah (bacaan). Menurut istilah ilmiah, qira-at adalah salah satu madzhab pengucapan Qur-an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab yang lainnya.

Qira-at ditetapkan berdasarkan sanad-sanad yang periwayatannya sampai hingga Rasulullah saw. Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam Tabaqaatul Qurra’ bahwa para shahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira-at Qur-an ada tujuh orang, yaitu : Ubai bin Ka’ab, Ali bi Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, ‘Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’uud, Abu Darda’ dan Abu Musa Al Asy’ari. Segolongan besar sahabat mempelajari qira-at dari Ubai bin Ka’ab, di antaranya : Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibnu Abbas belajar pula kepada Zaid bin Haritsah.


Imam atau guru qira-at cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qira-ah sab’ah (qira-at tujuh) adalah qira-at tujuh orang imam yang disepakati kesahihan sanadnya oleh para ulama terkemuka pada abad ke-3 hijriyah. Ketujuh orang imam qurra’ tersebut yang dinisbatkan qira-atnya hingga zaman ini adalah : Abdullah bin Katsir (Makkah), Nafi’ bin Abdurrahman (Madinah), Al Kisa’i (Kufah), Hamzah (Kufah), Abu ‘Amr ‘Ala (Basrah/Iraq), Isa bin ‘Amir (Basrah) dan ‘Asim Al Jahdari (Basrah/Iraq). Kesemuanya hidup pada abad ke-1 hijriyah pada generasi tabi’in. Ketujuh qira-at inilah yang dianggap yang terbaik karena mutawatir. Sebagian ulama menyebutkan bahwa kualitas kesahihan qira-at terbagi menjadi enam derajat :

1. Mutawatir
Qira-at Mutawatir adalah qira-at yang diambil oleh sebagian besar periwayat yang besar jumlahnya tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta atau menyalahi. Qira-at Mutawatir adalah qira-at yang tujuh tersebut, yang sahih sanadnya dan mencapai derajat mutawatir dan bersambung hingga penghabisannya yaitu Rasulullah saw, sehingga riwayatnya tidak diragukan atau dipermasalahkan oleh para ‘ulama.

2. Masyhuur
Qira-at Masyhuur adalah tiga qira-at yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmani juga terkenal di kalangan ulama qurra’. Mereka itu adalah : Abu Ja’far Yazzin bin Qa’qa’ (Madinah), Ya’qub bin Ishaq (Hadramaut, Yaman) dan Khalaf bin Hisyam.

3. Ahad
Qira-at Ahad adalah tiga qira-at yang sahih sanadnya tetapi menyalahi kaidah bahasa Arab dan menyalahi rasam Utsmani serta tidak terkenal di kalangan ulama qurra’.

4. Syadz (artinya: janggal/salah)
Qira-at Syadz adalah qira-at yang tidak sahih riwayatnya dipermasalahkan oleh para ‘ulama. Mereka itu adalah : Yazidi, Hasan, A’masy, Ibnu Zubair dan lainnya.

5. Maudhu’
Qira-at Maudhu’ adalah qira-at yang tak diketahui asal-usul sanad periwayatannya.

6. Mudraj
Qira-at Mudraj adalah qira-at yang menambahkan tafsir ayat ke dalam bacaan ayat tersebut.

Catatan khusus :
• Pernyataan Imam Nawawi (ahli ilmu hadits, ushul fiqh dan fiqh) dalam kitabnya Syarh Al Muhadz-dzab : “Qira-at diluar qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan Qur-an. Qur-an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan selain itu tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain itu adalah salah atau jahil. Seandainya orang tersebut menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira-at yang salah maka bacaannya harus diingkari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat.” Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca qur’an dengan qira-at diluar/selain qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur harus disuruh bertaubat.

• Imam Ibnu ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ (konsensus) kaum Muslimin bahwa Qur-an tidak boleh dibaca dengan qira-at diluar qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur dan juga tidak sah melakukan shalat di belakang orang yang membaca Qur-an dengan qira-at diluar qira-at mutawatir dan qira-at masyhuur.


Para ulama menganggap qira-at Qur-an tanpa tajwid sebagai suatu lahn (kesalahan lafazh) baik khafiy maupun jaliy. Lahn jaliy adalah kerusakan fatal dan nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qira-at hingga orang awam. Sedangkan lahn khafiy adalah kerusakan spesifik yang hanya dapat diketahui dan dideteksi oleh ulama qira-at maupun para pengajar Qur-an yang cara membacanya didapat langsung secara vis a vis lisan para ulama qira-at.

Berlebihan dalam tajwid hingga kelewat batas adalah sama bahayanya dengan lahn. Sebab hal tersebut merupakan penambahan/pengurangan huruf atau yang lainnya. Misalkan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang dewasa ini dalam membaca Qur’an, yaitu dengan irama ‘ratapan’ atau ‘jeritan’ yang melankolis/sendu dan penggal ayat yang diulang-ulang. Para ulama qurra’ menanggap hal tersebut sebagai bid’ah dan menyebutnya dengan istilah talhin. Hal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam As Suyuthi dalam Al Itqan fii ‘Ulumil Qur’an dan diungkapkan kembali oleh Imam Musthafa Shadiq Ar Rafi’i dalam I’jaazul Qur-aan dengan pernyataannya : “Di antara bid’ah dalam qira-at Qur-an adalah talhin (melagukan bacaan Qur-an dengan gaya yang menyimpang) yang hingga saat ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang-orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengaguminya. Mereka membaca Qur-an sedemikian rupa layaknya sebuah irama nyanyian.” Di antara talhin yang mereka kemukakan adalah :

1. Tar’iid : bila qari’ menggetarkan suaranya laksana kedinginan atau kesakitan.

2. Tarqiis : sengaja berhenti pada huruf sukun lalu dihentakkan tiba-tiba yang terkadang disertai gerakan tubuh.

3. Tathriib : melagukan ayat hingga menerapkan hukum mad bukan pada tempatnya atau lebih dari proporsinya.

4. Tahziin : melagukan ayat dengan irama memelas seperti orang yang sedih dengan khusyu & suara lembut.

5. Tardaad : bila sekelompok pendengar menirukan seorang qari’ pada menjelang akhir bacaan dengan salah satu gaya di atas.

------------------------

Sumber wacana :
Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, Syaikh Mana’ Khalil al Qath-than

* untuk download materi di atas dalam format pdf, silahkan klik di sini *